Walhi: Lingkungan Rusak, Izin Pertambangan Harus Dikurangi

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Minggu, 07 Jun 2015 04:47 WIB
Pemerintah diminta mengurangi izin pertambangan lantaran kerusakan lingkungan yang semakin parah. Lebih baik memajukan pertanian karena ramah lingkungan.
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas 45 Makassar melakukan aksi memperingati Hari Bumi di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4). (ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rakhman berpendapat pemerintah sebaiknya mengurangi izin pertambangan lantaran kerusakan lingkungan yang semakin parah. Pemerintah dinilai lebih baik memajukan sektor pertanian karena lebih ramah lingkungan.

"Karena aktivitas pertambangan, terjadi degradasi kualitas lingkungan secara berkesinambungan," kata Edo saat ditemui di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Sabtu (6/6).

Edo berpendapat tidak ada salahnya pemerintah memberikan izin pertambangan selama telah melakukan uji kelayakan terhadap lingkungan yang bersangkutan dan telah mendapat izin warga setempat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, hasil pertambangan tersebut juga diharapkan dapat menguntungkan masyarakat lokal sebesar-besarnya. "Faktanya, hanya segelintir orang yang mendapatkan keuntungannya. Sementara, mayoritas masyarakat lokal tetap hidup dalam kemiskinan," katanya.

Pemerintah juga dinilai masih kurang bijaksana dalam menentukan lokasi pertambangan. Seringkali, kata Edo, masyarakat lokal terpaksa terpapar limbah tambang.

"Akibatnya, warga banyak yang menderita penyakit akibat terpapar limbah. Bahkan, sampai mengakibatkan kecacatan pada bayi-bayi," ujarnya.

Di sisi lain, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Muhnur Satyahaprabu berpendapat pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh dalam melakukan perbaikan lingkungan yang telah rusak akibat tambang.

"Di Kalimantan, degradasi kualitas lingkungan tinggi akibat tambang. Konflik agraria pun terus meningkat. Namun, hal ini tidak pernah dijadikan bahan audit oleh pemerintah," katanya.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria, selama tahun 2004 hingga 2014 telah terjadi 1.520 konflik agraria di areal seluas 6.541.951 hektar, di mana konflik tersebut melibatkan 977.103 kepala keluarga. Artinya, hampir dua hari sekali terjadi konflik agraria. (sip)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER