KontraS dan Jatam Soroti Dana Talangan Lapindo

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Kamis, 25 Jun 2015 07:55 WIB
Dana yang dinilai hanya transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset dianggap hanya akan membawa sederet permasalahan mendasar lainnya.
Areal bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim, Jumat (12/6). Bupati Sidoarjo Saiful Ilah menyatakan dirinya diberi tahu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bahwa pembayaran ganti rugi warga korban Lumpur Lapindo oleh pemerintah menggunakan dana talangan akan dilakukan pada 26 Juni 2015. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritik kebijakan pemerintah yang mengucurkan dana talangan senilai Rp 781 miliar kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

Dana talangan tersebut dikucurkan untuk pelunasan dan pembayaran ganti rugi lahan serta bangunan akibat semburan lumpur Lapindo, dengan jangka waktu empat tahun, dengan jaminan aset tanah korban yang sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun.

"Dana talangan tersebut tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lumpur Lapindo," kata Koordinator KontraS Haris Azhar saat konferensi pers di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Rabu (24/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haris mengatakan kebijakan pemerintah melalui dana talangan tersebut juga akan membawa beberapa permasalahan mendasar lainnya, mulai dari potensi berlawanan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, hingga mengabaikan aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi korban lumpur Lapindo.

Di sisi lain, Koordinator Jatam Hendrik Siregar berpendapat adanya ketidakjelasan mekanisme pemberian dana talangan kepada PT MLJ. "Apabila merujuk pada Undang-undang (UU) Nomor 37 Tahun 2004 dan UU Nomor 17 Tahun 2003, maka PT MLJ seharusnya berstatus pailit terlebih dahulu sebelum mendapat kucuran pinjaman atau dana talangan dari pemerintah," katanya.

KontraS dan Jatam juga menilai adanya pengabaian praktik pelanggaran HAM dalam kasus Lapindo. Berdasarkan laporan penyelidikan Komisi Nasional HAM pada 25 Oktober 2012 lalu, disebutkan bahwa ada praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas.

Komnas HAM mencatat ada 15 pelanggaran HAM yang terjadi akibat semburan lumpur Lapindo, yaitu: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (difabel, orang berusia lanjut, anak dan perempuan).

Selain itu, pemerintah juga dinilai telah mengabaikan aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009.

"PT MLJ seharusnya diwajibkan untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo yang mengakibatkan kerugian bagi warga," kata Hendrik.

Sembilan Desakan Bagi Pemerintah

Atas kondisi tersebut, KontraS dan Jatam sepakat memberikan sembilan desakan terkait penyelesaian kasus Lapindo tersebut.

Pertama, Polri didesak menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya untuk melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM serta membuka perkara pidana yang telah mendapat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Polda Jatim.

Kedua, BPK didesak segera melakukan koordinasi kepada kementerian terkait, terutama Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non prosedural pengeboran di Sidoarjo, yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian serta memastikan upaya tindak lanjut dari laporan BPK pada tahun 2007.

Ketiga, Badan Pertahanan Nasional (BPN) beserta Kementerian Agraria didesak memastikan status hukum yang timbul akibat kegiatan jual-beli lahan antara korban luapan lumpur Lapindo.

"Kami juga berharap kedua lembaga tersebut memberikan masukan kepada pemerintah terkait penyelesaian permasalah dana talangan dan upaya ganti rugi lahan dan bangunan akibat semburan lumpur Lapindo," kata Staf Divisi Pembelaan Hak Ekonomi Sosial KontraS, Ananto Setiawan.

Keempat, Kementerian Keuangan diminta untuk memastikan bahwa penggunaan uang negara, melalui rencana pemberian dana talangan, kemudian tidak bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

"Kemenkeu itu juga harus memastikan status hukum PT MLJ sebelum menerima dana bantuan dalam bentuk talangan dan kebijakan penundaan kewajiban pembayaran utang, dan memberikan masukan kepada pemerintah terkait penyelesaian permasalahan dana talangan," katanya.

Kelima, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, dan sejumlah kementerian terkait untuk menagih kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo, guna mencegah potensi kerugian negara akibat peristiwa tersebut.

Keenam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan audit lingkungan hidup atas peristiwa semburan Lapindo di Sidoarjo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta memastikan pertanggung-jawaban PT MLJ atas kerugian yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut berdasarkan prinsip polluter pay principles dan konsep strict liability.

Ketujuh, Komnas HAM didesak memastikan dan menjamin tersedianya akses terhadap upaya pemulihan yang efektif bagi korban perlanggaran HAM akibat semburan lumpur Lapindo.

"Komnas HAM juga harus mendorong pemerintah dan instansi-instansi terkait untuk menindak-lanjuti laporan Komnas HAM atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi akibat terjadinya semburan lumpur Lapindo," kata Ananto.

Kedelapan, Ombudsman RI didesak melakukan penyelidikan terkait temuan adanya dugaan praktik maladministrasi yang terjadi dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo, sebagaimana yang disebutkan laporan BPK pada 29 Mei 2007 lalu.

Kesembilan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Polri untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU Nomor 26 Tahun 2007 dan RTRW SIdoarjo 2003-2013.

Kesepuluh, Menkominfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel (meg)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER