Kisah Kuswanto, Korban Salah Tangkap yang Dibakar Polisi

Abraham Utama | CNN Indonesia
Jumat, 26 Jun 2015 09:00 WIB
Polisi memplester lakban kedua mata, memborgol, menyiram bensin dan cairan keras ke Kuswanto hingga akhirnya menemukan fakta: mereka salah tangkap.
Ilustrasi kekerasan polisi. (Iuoman/Thinkstockphotos.com)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan Negeri Kudus menvonis bersalah LR, anggota Kepolisian Resor Kudus, atas penyiksaan yang dilakukannya terhadap terduga pelaku perampokan. LR diwajibkan menjalani pidana penjara selama enam bulan, pada 12 Desember 2014.

Kasus yang menjerat LR bermula ketika ia bersama 12 teman sejawatnya sesama reserse Polres Kudus mengungkap perampokan yang terjadi di sebuah toko penjual es krim Walls, di Kudus.

Dengan mengenakan pakaian preman, LR dan rekan-rekannya berangkat ke Kafe Perdana di kota kretek, pada 21 November 2012 malam. Di sana mereka membawa paksa seorang pria bernama Kuswanto (29) dan empat orang lain. LR dan koleganya lantas memasukkan mereka ke mobil mereka. (Lihat juga: Anak yang Diduga Dianiaya Polisi Mengaku Trauma)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam perjalanan, anggota-anggota kepolisian itu memaksa lima orang yang mereka tangkap mengaku sebagai perampok. Tak kunjung mengaku, LR dan rekannya memplester sebuah lakban ke dua mata Kuswanto. Tanpa alasan yang jelas, mereka juga memborgol tangan pria pemilik rental mobil itu.

Tujuan mobil Xenia itu ternyata bukan ke Polres Kudus. LR dan aparat kepolisian lain membawa Kuswanto ke lapangan yang bersebelahan dengan Universitas Muria Kudus. Di sana LR kembali mendesak Kuswanto mengaku sebagai perampok. (Lihat juga: Wali Gereja Laporkan Dugaan Peradilan Sesat Narkoba ke KY)

Tak mendapatkan jawaban yang dikehendakinya, LR dan koleganya kemudian menyiramkan bensin ke tubuh Kuswanto. Nyala korek api dalam sekejap membakar Kuswanto.

Tidak berhenti sampai di situ, LR dan teman sekantornya lalu membawa Kuswanto ke Polres Kudus. Bentakan polisi-polisi itu agar Kuswanto mengakui perbuatannya menemui jalan buntu. Kuswanto terus berkukuh tak melakukan kejahatan apapun. (Baca juga: Anak Jadi Korban Penganiayaan, Sang Ibu Cari Keadilan)

Seorang penyidik kemudian menyiramkan carian yang membuat Kuswanto menjerit lalu tak sadarkan diri. Penyidik itu kemudian membawa Kuswanto ke Rumah Sakit Umum Kudus. Di sana, dokter menyatakan Kuswanto mengalami luka bakar pada wajah, leher dada sebelah kanan dan perut. (Baca juga: KontraS Temukan Bukti Penganiayaan Polisi atas Terpidana Mati)

Kurang lebih setahun setelah peristiwa itu, orang tua Kuswanto mengetahui anaknya merupakan korban salah tangkap. Polisi menemukan pelaku perampokan sebenarnya.

Meski demikian, luka bakar di leher Kuswanto tetap menganga. Diobati seadanya, hingga akhir tahun lalu leher Kuswanto belum berhenti mengeluarkan cairan berwarna merah kekuningan.

Diadvokasi sejumlah lembaga swadaya masyarakat, Kuswanto berangkat ke Jakarta dengan uang seadanya. Ia ingin melaporkan tindak penyiksaan yang dialaminya. Kuswanto juga meminta perlindungan. Sampai saat itu ia terus mendapat teror dari orang-orang yang tak dikenal.

Kisah Kuswanto tersebut dihimpun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan. Tak hanya tentang Kuswanto, Kontras juga memiliki data penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian di daerah-daerah lain.

“Harus diakui, masih ada praktek penyiksaan di internal Polri. Memang betul seperti itu kalau data penyiksaan dibuka,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Krishna Murti, pada diskusi publik tentang peran negara menghentikan penyiksaan, di Jakarta, Kamis (25/6).

Krishna mengatakan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap terduga pelaku kejahatan kerap terjadi akibat beban kerja tinggi yang dipikul reserse. Hal itu menurutnya akan diperparah rendahnya kemampuan polisi dalam mengungkap dugaan tindak pidana.

Menurut catatan Kontras, selama 2014 Polri merupakan lembaga negara yang paling sering melakukan tindak penyiksaan. Tahun lalu, setidaknya terdapat 35 kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian di berbagai daerah.

Peringkat Polri pada rapor merah ini disusul sipir lembaga pemasyarakatan. Para sipir yang bekerja di bawah Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini tercatat terlibat dalam 15 kasus penyiksaan. Sementara itu, Kontras menyebut prajurit TNI pada periode yang sama terlibat 9 perkara penyiksaan.

Temuan Kontras tadi diperkuat data Ombudsman. Lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik ini mencatat, mayoritas penyiksaan dalam proses penangkapan atau penahanan terjadi di tingkat polres (66,7 persen).

Data Ombudsman memperlihatkan polres sebagai tempat menyeramkan. Anggota Ombudsman Budi Santoso mengatakan angka kekerasan tertinggi pada tahap penyidikan terjadi di polres (43,4 persen).

Koordinator Kontras Haris Azhar memaparkan penyiksaan di lingkungan kepolisian terjadi karena minimnya akuntabilitas proses penegakan hukum. Ia berpendapat, kekerasan ini tumbuh subur karena Polri kerap menyelesaikan perkara penyiksaan yang dilakukan anggotanya melalui mekanisme etik.

“Selama ini mereka menitikberatkan pada sanksi administratif sehingga memperpanjang rantai impunitas,” ujarnya. Ia mengatakan Polri tidak mampu melahirkan efek jera bagi para oknum anggotanya. (utd)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER