Jakarta, CNN Indonesia -- Pembangunan jalan layang dan jalur Mass Rapid Transit di sejumlah ruas jalan DKI Jakarta membuat kemacetan yang sudah menjadi 'asupan' warga sehari-hari semakin parah.
Misalnya saja yang terdapat di ruas Jalan RS Fatmawati sampai ke Jalan Panglima Polim. Penyempitan lajur akibat dibangunnya proyek MRT membuat kemacetan menjadi-jadi.
Tak hanya itu, macet parah juga terjadi di sepanjang ruas Jalan Tendean dan Wolter Mongisidi, yang terkena imbas proyek pembangunan jalan layang ke arah Ciledug. Selain macet, polusi akibat material bangunan pun menimpa pengguna jalan tersebut.
(Lihat Juga: FOKUS Bercermin ke Jalanan Ibu Kota)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, jalan Ciledug Raya ke arah Pasar Kebayoran Lama juga tak lepas dari macet parah akibat pembangunan jembatan layang.
Jalan yang kesehariannya sudah macet kini bertambah parah akibat penyempitan ruas jalan.
Warga yang biasanya menempuh perjalanan dua jam dari Ciledug menuju Blok M kini mesti mengalami kemacetan hingga minimal empat jam.
(Lihat Juga: Program Kemacetan Pemprov DKI Dinilai Hanya Sebatas Wacana)Alhasil, pengendara mobil dan motor-motor serta angkutan umum yang melintas di jalan tersebut dibuat tak berkutik.
Selain pengendara mobil dan motor, kemacetan parah juga turut berimbas kepada pejalan kaki dan pengendara sepeda.
(Lihat Juga: Saatnya Sepeda Jadi Feeder Angkutan Massal di Jakarta)Semakin sempitnya jalan membuat ruangan untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda semakin minim. Alhasil, bisa membayakan jiwa baik bagi pejalan kaki ataupun pengendara sepeda.
"Semua orang ingin cepat sampai, baik itu mobil ataupun motor. Mereka tak ada yang mau mengalah karena merasa punya hak di jalan," kata Chairman Bike2Work Indonesia, Toto Sugito saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis malam (27/8).
Maka dari itu, Toto mewakili komunitas pesepeda memiliki sejumlah harapan kepada transportasi di Jakarta. Harapan pertama terkait aturan.
Aturan yang sudah ada saat ini, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, diharapkan bisa disosialisasikan dengan baik dan ditegakkan untuk memberikan efek jera bagi yang melanggar.
Lalu, Toto meminta agar bagaimana caranya yang penting transportasi massal bisa dibenahi dan diperbaiki agar bisa digunakan secara aman, nyaman, dan tepat waktu.
"Terakhir adalah aturan mengenai fasilitas pejalan kaki dan pesepeda. Fasilitas itu tidak harus jalur panjang tapi lebih kepada jalur yang bisa saling menghubungkan," katanya.
Toto mengungkapkan, pejalan kaki dan pengendara sepeda sebenarnya memiliki hak yang sama dengan pengendara motor ataupun pengendara mobil. Semua itu diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam UU tersebut tercantum bahwa pejalan kaki dan pengendara sepeda memiliki hak di jalan raya. Hak yang dimaksud adalah mendapatkan jalur pejalan kaki dan jalur pesepeda.
Namun sayangnya, kata Toto, sosialisasi yang kurang dilakukan terhadap eksistensi pasal tersebut membuat masyarakat lupa dan tidak peduli dengan pejalan kaki ataupun pengendara sepeda.
Tak hanya masyarakat, Toto mengatakan polisi pun seakan tak sanggup lagi menindak ketidakdisiplinan yang amat buruk di Jakarta.
"Tampaknya semua dilanggar," ujarnya. "Penyakit 'buta warna' sekarang sudah sangat menular."
Buta warna yang dimaksud Toto adalah warga pengendara motor dan mobil tak lagi bisa membedakan lampu hijau, lampu merah, ataupun lampu kuning yang terpasang di lampu lalu lintas. Semuanya diterabas.
"Coba saja lihat di traffic light, tidak ada yang mengetahui mana merah mana hijau. Kami yang memiliki hak jalan saat lampu hijau menjadi was-was," katanya.
Pada akhirnya, ujar Toto, kesalahan-kesalahan yang dibiarkan di jalan tersebut menjadi kebiasaan yang sulit hilang dari benak warga ibu kota. Oleh sebab itu, aturan yang sudah ada alangkah baiknya ditegakkan oleh aparat berwenang.
(utd)