OBITUARI HELMI FIRDAUS

Catatan Kenangan Mengantar Kepergian Helmi Firdaus

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Minggu, 27 Sep 2015 12:51 WIB
"Aku mohon izin pulang duluan ya. Badanku enggak enak. Aku mau tidur," Mas Kelmi pamit pulang pada suatu hari selepas magrib.
Editor CNN Indonesia Helmi Firdaus. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perlu menelepon beberapa kali untuk memastikan bahwa berita dukacita pagi ini memang benar. Jam masih di angka 6 kurang sedikit ketika telepon berdering mengantarkan cerita sedih itu.

Terkejut dan kehabisan kata. Ada perasaan bersalah yang menjalar seketika. Air mata belum tumpah karena duka bercampur panik menguasai perasaan dan pikiran saya.

Butuh waktu cukup lama untuk tercengang sebelum akhirnya bergegas mengabari rekan di kantor. Grup komunikasi di kantor masih sepi saat jam menunjuk angka 06.16 WIB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hanya ada satu pertanyaan dari Trisno Heriyanto, Editor Kanal Teknologi, "Ada yang tahu perkembangan soal Mas Kelmi?" Pesan itu dikirim Mas Eno jam 06.14 WIB.

Kepergian Editor Kanal Politik CNN Indonesia Helmi Firdaus, dia suka dipanggil Kelmi, bagi saya terlalu mengejutkan. Selain masih muda, 37 tahun, saya juga masih berutang untuk mentraktirnya.

Utang traktir karena dia pernah menggantikan jam piket kantor ketika saya tengah berkutat mengedit liputan khusus. Dia memang dikenal sebagai sosok yang helpful.

Mas Kelmi? Saya berusaha mengingat kapan terakhir kali bertemu dia. Mata saya belum basah. Hanya berusaha menenangkan diri agar tak terlalu gemetar.
Dering telepon, sms, dan pesan instan lainnya mulai bersahutan saat saya sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Air mata saya juga mulai tumpah.

Terutama mengingat saat sosok pekerja keras ini sakit beberapa bulan lalu sampai suaranya habis. Saat sakit itu pun, dia tetap merasa tak enak untuk pulang lebih dulu meninggalkan rapat.

Saya tengah mengumpulkan memori pembicaraan dengan Mas Kelmi dalam benak saya ketika tiba di rumah sakit tempat Mas Kelmi dua hari dirawat. Tapi terlambat.

Jenazahnya sudah dibawa menuju bandara untuk pemakaman di kampung halaman di Lamongan, Jawa Timur. Saya hanya sedikit beruntung karena telah menjenguknya beberapa jam setelah Mas Kelmi terbaring di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jumat (25/9), sekitar pukul 13.30 WIB-15.00 WIB.

Sebelum di RS itu, terakhir saya melihat dia, Rabu malam (23/9) sekitar pukul 20.00 WIB. Dia sedang tertawa bersama rekan sesama jurnalis dari Majalah Detik, Aryo Bhawono, di tangga kantor CNN Indonesia.

Dia memang senang bercengkerama sambil ngopi, kadang sampai lupa waktu. Bagi Mas Kelmi, semua masalah akan bisa diselesaikan dengan duduk bareng sambil menyeruput kopi.

Saya menyukai gayanya yang membebaskan orang lain berbicara, berpendapat, dan menilai tanpa dia merasa sakit hati. Karakternya ini membuat saya suka bicara blak-blakan dengannya jika ada satu dua hal yang kurang berkenan.

"Enggak apa-apa kita ngomong dan marah. Cuma maksudnya bukan marah dan benci sama orangnya, tetapi sama kelakuannya. Sama orangnya tetap temanlah."

Itu pernyataan Mas Kelmi yang melekat dalam ingatan. Karakternya memang meluap-luap, tapi dia sulit membenci orang lain.
Mas Kelmi menjadi bagian dari Redaksi CNN Indonesia pada Februari 2015, setelah sejak tahun 2006 menjadi jurnalis di Koran Sindo.

Saya mengenal dia tahun 2007 ketika menjadi reporter junior di koran yang sama. Yang sulit saya lupakan adalah ketika artikel yang saya tulis bersama pria kelahiran Mei 1978 ini diprotes oleh seorang jenderal polisi berbintang dua.

Lewat telepon saya menghubungi Mas Kelmi. Panik. Saya juga menangkap kecemasan di suaranya, tetapi dia dengan tenang bilang, "Oke. Kita ketemu dan bicara di kantor ya."

Hari-harinya di kantor lebih banyak dipenuhi tawa. Saya hampir tak pernah mendapati dia murung, meski kadang saya merasa ada kesedihan yang dia simpan dalam hati.

Jika sedang tak punya ide untuk menulis, dia lantas menyambangi meja saya, "Kita nulis apa hari ini, Kandi?"

Kalau saya kebetulan sedang ada ide, pembicaraan akan berlanjut untuk mengembangkan ide itu. Tetapi jika sedang sama-sama buntu, kami tertawa bersama menertawai kebodohan kami sendiri.

Karena kerap bercengkerama dan tertawa itu agaknya yang justru membuat saya tak tahu dia punya riwayat sakit hipertensi. Disusul serangan stroke yang membawanya ke tempat peristirahatan terakhir.

"Aku mohon izin pulang duluan ya. Badanku enggak enak. Aku mau tidur," Mas Kelmi menyambangi sofa di ujung kantor ketika saya duduk di sana.

"Siap, Mas. Sehat-sehat ya. Istirahat," saya menjawab. Jika tak benar-benar sakit, Mas Kelmi tidak akan pulang lebih dulu meski jam kerjanya sudah habis.

Hari ini, beberapa waktu setelah percakapan itu, Mas Kelmi pulang ke pangkuan Tuhannya. Tidur pulas selamanya, di surga-Nya. Semoga. (rdk)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER