Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy, Arsul Sani, menilai pemerintah memang tidak perlu meminta maaf kepada keluarga korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Musababnya, Partai Komunis Indonesia menurutnya telah melakukan kekerasan terlebih dahulu.
"Presiden silakan kalau mau meminta maaf terhadap korban keluarga pelanggaran HAM berat, kecuali korban G30S," kata Arsul saat ditemui CNN Indonesia di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (29/9).
Peristiwa G30S, kata Arsul berbeda dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya seperti kasus penembakan mahasiswa di Trisakti, dan Semanggi. Hal ini dikarenakan mahasiswa saat berdemonstrasi ditembak oleh aparat. Terlebih mahasiswa tidak melakukan penganiayaan atau tindak kekerasan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun PKI, menurut Arsul telah melakukan kekerasan terlebih dahulu pada peristiwa di Madiun yang kemudian terulang di tahun 1965, sehingga wajar ketika ada keterlibatan masyarakat dalam aksi kekerasan pasca 1965.
Anggota Komisi Hukum DPR RI ini memberi contoh bahwa bapaknya pernah dikejar-kejar oleh PKI. Ia menjelaskan ketika bapaknya dan masyarakat marah lalu kemudian menyerang balik PKI sebagai proses sosial. "Menurut saya ketika dia marah, dia balik mengejar itu adalah sebuah proses sosial," kata Arsal.
Adapun Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Mulfachri Harahap menilai langkah yang diambil Presiden Joko Widodo untuk tidak meminta maaf kepada keluarga korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) sudah tepat. "Sudah benar itu, bagaimana minta maaf untuk sesuatu yang belum dibuktikan kesalahannya," kata Mulfachri di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (29/9).
Mulfachri mengatakan pemerintah perlu melakukan investigasi secara menyeluruh terlebih dahulu, sebelum menentukan sikap agar menjadi jelas duduk perkaranya. Namun, ia menolak seandainya pemerintah meminta maaf jika investigasi belum selesai dilakukan.
"Kalau belum ada investigasi, kenapa pemerintah tiba-tiba harus minta maaf?" kata Mulfachri.
Meski demikian, Mulfachri sepakat, untuk urusan Hak Asasi Manusia (HAM) terutama persoalan G30S harus diselesaikan agar tidak menimbulkan hutang di masa depan. "Apapun itu kalau memang soal G30S dianggap jadi hutang HAM, harus diselesaikan," ujarnya.
Rencana pemerintah tidak meminta maaf kepada keluarga korban G30S sempat disebutkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Haedar mengaku telah mendapat klarifikasi dari Presiden Joko Widodo yang tidak memiliki rencana meminta maaf kepada keluarga korban G30S.
Hal ini ditegaskan Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menyebutkan, dalam rapat-rapat kabinet maupun pada saat ia dampingi, Presiden Joko Widodo tidak pernah membicarakan soal permintaan maaf kepada korban G30S.
"Yang jelas persoalan permintaan maaf tersebut tidak pernah dibicarakan dalam rapat-rapat kabinet maupun ketika kami mendampingi," ujar Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu (22/9).
Sedangkan menurut Jaksa Agung M. Prasetyo, rekonsiliasi menjadi salah satu jalan terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Hal tersebut dikatakan Prasetyo menanggapi tidak adanya rencana pemerintah untuk meminta maaf kepada korban peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang masih mengundang beberapa kontroversi.
(obs)