HARI ANTIHUKUMAN MATI

Jokowi Didesak Moratorium Hukuman Mati

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Sabtu, 10 Okt 2015 18:50 WIB
Jokowi diminta melakukan moratorium hukuman mati setelah munculnya temuan dugaan peradilan sesat dalam putusan Yusman Telambanua dan kakak iparnya Rasulah Hia.
Aktivis dari Jaringan Buruh Migran Indonesia dan sejumlah Komunitas Doa serta Pro Kehidupan melakukan aksi tolak hukuman mati di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (28/4). Dalam aksinya mereka menolak segala bentuk hukuman mati dan mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan hukuman mati kepada sejumlah terpidana yang akan segera dieksekusi. (Antara Foto/Muhammad Adimaja)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo alias Jokowi didesak melakukan memoratorium hukuman mati di Indonesia. Alasannya, munculnya temuan dugaan peradilan sesat yang diterapkan pada putusan mati.

Temuan tersebut mencuat pada sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Maret 2015 lalu atas putusan Yusman Telambanua dan kakak iparnya Rasulah Hia.

"Kami mendesak Presiden Jokowi melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standart fair trial," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Supriyadi Widodo Eddyono dalam pernyataan resminya yang diterima CNN Indonesia.
ICJR yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Koalisi Indonesia Anti Hukuman Mati menilai proses hukum yang adil belum dapat diterapkan di Indonesia. Kasus Yusman dan Rasulah menjadi salah satu bukti. Kedua pemuda ini disiksa oleh tim penyidik untuk mengakui pembunuhan terhadap tiga orang yakni Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br Haloho.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat proses hukum berlangsung, Yusman dan Rasulah juga tak didampingi pengacara yang laik. Kuasa hukum keduanya yang disediakan oleh negara justru meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Putusan hakim pun menetapkan Yusman dan  Rasulah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto 55 ayat 1. Putusan tersebut dibacakan pada tanggal 21 Mei 2013 silam.

"Setidaknya pemerintah harus segera melakukan pembahasan dengan segera terkait perubahan KUHAP untuk memberikan standar baru bagi proses peradilan pidana terhadap tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati," katanya.
Supriyadi juga meminta dilakukannya pengkajian ulang semua putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Menurutnya, semua putusan harus dipastikan telah sesuai dengan prinsip fair trial dan prinsip universal terkait penjatuhan pidana mati.

Sejak tahun 1979, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi 79 terpidana mati. Angka tersebut di dominasi kasus pembunuhan berencana (26 kasus), narkoba (18), kejahatan politik (13) dan terorisme (7).

Selain 79 orang yang bernasib nahas itu, ada 121 terpidana mati lainnya yang masih was-was menanti ketuk palu hakim dan keputusan jaksa eksekutor untuk menembak mereka. Orang-orang ini terjerat berbagai kasus mulai dari penyalahgunaan narkotika hingga pembunuhan berencana. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER