Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti untuk lebih mempersempit penafsiran ujaran kebencian sebagaimana tercantum dalam surat edaran untuk Kepala Satuan Wilayah seluruh Indonesia. Isi surat edaran tersebut dinilai tidak spesifik memberikan petunjuk ujaran kebencian seperti apa yang bisa ditindak.
"Kami mengapresiasi surat edaran tersebut sebagai langkah awal yang bagus dari kepolisian. Namun, Kapolri mesti menurunkan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan gimana harus menangani
hate speech terutama bagi polisi di daera
h. Takutnya nanti menyasar teman-teman yang selama ini menggunakan demonstrasi untuk mengkritik pemerintah," kata Wakil Koordinator KontraS Krisbiantoro kepada CNN Indonesia, Kamis (29/10).
Kris mengatakan dalam juknis dan juklak semestinya dijelaskan mengenai petunjuk uraian kebencian, dampaknya, serta siapa-siapa saja yang bisa menyampaikan kebencian. Ujaran kebencian, kata Kris, terutama berkaitan dengan persoalan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Selain itu, definisi ujaran kebencian juga meliputi ceramah atau pidato publik yang dapat menimbulkan reaksi lawan hukum yang membahayakan keselamatan orang lain.
"Misalnya menuduh orang padahal tidak terbukti. Orang berkeyakinan masak dihukum atau diserang (oleh penyebar ujaran kebencian). Batasan ini yang mesti diperjelas oleh Kapolri," kata Kris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kris mencontohkan, kasus Syiah yang sering mendapatkan perlakuan kekerasan dari oknum tertentu. Polisi, ujarnya, mesti melakukan tindakan tegas terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian dan kekerasan kepada penganut Syiah.
"Penindakannya harus tegas, ada teguran lisan dan tertulis kalau sudah menimbulkan tindak pidana seperti menyerang properti maka harus ditangkap," kata Kris.
Gagasan LamaPenindakan atas ujaran kebencian, kata Kris, merupakan gagasan lama dari beberapa kelompok lembaga swadaya masyarakat seperti KontraS, Setara Institute, Amnesti Internasional serta perwakilan dari Universitas Paramadina.
Gagasan tersebut bermula dari keresahan mereka terhadap munculnya kasus-kasus yang berujung pada tindakan provokatif serta penyebaran kebencian yang berujung kepada perusakan serta penganiayaan, terutama yang menyangkut agama.
Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama ada di Indonesia, ujar Kris, belum secara spesifik mengatur tentang sanksi pidana tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai provokasi dan ujaran kebencian.
"Namun, masuknya ke dalam kegiatan mengganggu ketertiban umum dan perbuatan tidak menyenangkan. Mudah-mudahan KUHP baru cepat selesai di sana akan diatur mengenai
hate speech dan
hate crime," kata Kris.
Sebelumnya, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti akhirnya menandatangani surat edaran soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech untuk Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia. Surat edaran itu menjelaskan cara penanganan ujaran kebencian agar tidak meluas dan menimbulkan konflik sosial.
Berdasarkan salinan yang diterima dari Divisi Pembinaan dan Hukum, Kamis (29/10), surat edaran yang sudah dibahas sejak masa kepemimpinan Jenderal Sutarman itu diformalkan dengan Nomor SE/06/X/2015. Surat tersebut ditandatangani Badrodin pada 8 Oktober 2015 dan telah disebarkan ke daerah-daerah.
"Untuk menangani perbuatan ujaran kebencian agar tidak memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konfliksosial yang meluas," bunyi surat tersebut.
(utd)