Semarang, CNN Indonesia -- Tim Gabungan Direktorat Polair Polda Jateng, Bea Cukai Jateng-DIY dan Pangkalan TNI Angkatan Laut Semarang menyergap sebuah kapal asing berbendera Malabo, Guinea Khatulistiwa yang melakukan bongkar muat ilegal di perairan Karimunjawa, Jateng. Selain tak memiliki dokumen kepabeanan, kapal ini juga mengangkut 133 ribu liter bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium senilai Rp 110 miliar yang tidak dilengkapi dokumen alias bodong.
Sebelum masuk perairan Karimunjawa, Kapal yang bernama MT BS-9 tersebut berangkat dari Malaysia dan melakukan praktek ilegal yang sama di Bangka-Belitung. Untuk mengelabui petugas, pemindahan muatan premium dari satu kapal ke kapal lainnya dilakukan dengan cara berlayar saat malam hari dalam kondisi tanpa penerangan lampu. Di Karimunjawa sendiri, penyelundupan tersebut rencananya akan dilakukan beberapa kali sebelum kembali ke Malaysia.
"Kapal ini berfungsi sebagai pengepul, memindahkan premium ke kapal-kapal lain atau
ship to ship,” ungkap Kakanwil Bea dan Cukai Jateng-DIY Heru Pambudi saat gelar perkara di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Jumat (27/11) sore.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditangkap, kapal tanker dengan nomor register 29941294 dan nomor OMI 90796766 tersebut berisi 11 orang Anak Buah Kapal (ABK). Dua ABK yakni nahkoda kapal bernama Fian Alun Nofrianto (26) dan cincu kapal bernama Abdul Sadan (39) ditetapkan sebagai tersangka.
"Dua tersangka langsung kami tahan dan pemeriksaan mendalam kita lakukan bersama Bea Cukai dan Polair,” ujar Direktur Kriminal Khusus Polda Jateng Kombes Edi Mustofa.
Secara fiskal, dari penyelundupan 133 ribu liter premium senilai Rp 110 miliar tersebut, negara dirugikan sebesar Rp 12 miliar. Sementara dampak imateriil yang tidak baik bagi perekonomian juga muncul mengingat BBM bersubsidi menjadi kebutuhan pokok dalam negeri dan dibutuhkan oleh masyarakat.
"Kerugian negara bisa sampai Rp 12 miliar. Ini sangat berdampak karena BBM yang diselundupkan merupakan BBM yang bersentuhan dengan rakyat tak mampu,” tambah Edi.
Kasus ini sendiri melanggar pasal 323 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 600 juta. Juga pasal 53 huruf b UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ancaman hukumannya empat tahun penjara dan denda Rp 40 miliar.
(gen)