Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Suara Kita Hartoyo berpendapat pemerintah masih belum dapat menyediakan rumah aman bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang nyaman dan tidak menghakimi. Pemerintah bisa belajar layanan ramah bagi ODHA dari Rumah Sakit Carolus.
Oleh karenanya, kata Hartoyo, ODHA lebih memilih mencari pertolongan ke komunitas pendamping ODHA. Komunitas tersebut dinilai lebih bisa memahami perasaan dan kondisi ODHA dibandingkan tenaga medis serta fasilitator yang disediakan pemerintah.
"Tanya ke pemerintah, pasti mereka jawab punya rumah aman ODHA, tetapi kawan-kawan yang terinfeksi itu enggak mau mendatangi layanan rumah aman itu. Kadang muncul pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan bagi mereka," kata Hartoyo saat konferensi pers di kantor FITRA, Jakarta, Rabu (2/12).
Hartoyo menilai ada tiga pekerjaan rumah utama bagi pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pertama, sosialisasi dan kampanye kepada masyarakat terkait HIV/AIDS dengan tujuan menghilangkan stigma terhadap ODHA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Edukasi kepada masyarakat diperlukan untuk mengubah pandangan masyarakat bahwa HIV/AIDS bukanlah persoalan moral, melainkan persoalan kesehatan," kata Hartoyo.
Kedua, pemerintah dinilai perlu bekerja ekstra menjangkau ODHA. Saat ini, obat antiretroviral (ARV) dapat diakses secara gratis namun diperkirakan hanya sekitar 20 persen ODHA yang mengakses obat tersebut.
Ketiga, Hartoyo menilai pemerintah perlu lebih fokus membentuk rumah aman yang layak dan ramah kepada ODHA. "Ketika stamina tubuh ODHA menurun tajam, dia perlu dirawat sekitar dua bulan. Setelahnya, dia perlu dukungan secara mental di rumah aman," katanya.
Hartoyo juga menilai perlu ada kerja sama antara berbagai kementerian dan lembaga untuk edukasi penghapusan stigma terhadap ODHA. Kementerian Kesehatan, kata Hartoyo, tidak bisa bekerja sendirian.
Celakanya, kata Hartoyo, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang seharusnya paling bertanggung jawab justru kerap mengeluarkan pernyataan yang menghakimi ODHA.
"Mereka pernah mengeluarkan pernyataan ke media bahwa masyarakat harus berhati-hati karena kaum gay mengintai. Ini tandanya mereka 'buas' ke ODHA," katanya.
Padahal, kata Hartoyo, masyarakat akan aktif melakukan tes HIV apabila fasilitatornya tidak menghakimi. Sebagai contoh, Hartoyo mengatakan orang lebih berani tes HIV di Rumah Sakit Carolus dibandingkan di puskesmas.
"RS Carolus menggalang dana sendiri untuk mengadakan tes tersebut. Mereka hanya sosialisasi via internet, tetapi jumlah orang yang ke sana membludak," katanya.
Ia menambahkan kalau masyarakat menilai RS Carolus telah menyiapkan tempat yang aman dan tenaga medisnya tidak mengeluarkan pertanyaan yang menghakimi.
"Saya rasa pemerintah bisa belajar dari RS Carolus,"katanya.
Berdasarkan data Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan, hingga September 2014, tercatat sekitar 55.799 kasus HIV/AIDS dengan rincian 30.001 kasus diderita laki-laki, 16.149 kasus diderita perempuan, dan 9.649 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya.
Kasus-kasus ini ditemukan mulai dari bayi di bawah satu tahun hibgga lansia berumur di atas 60 tahun. Jumlah ODHA terbanyak berada di kelompok usia 20 hingga 29 tahun, yaitu sebesar 18.352 orang.
(utd)