Pemerintah Dinilai Setengah Hati Tangani AIDS

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Kamis, 03 Des 2015 06:37 WIB
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai kebijakan alokasi anggaran masih sedikit dan tak sebanding dengan peningkatan kasus.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar melakukan renungan dengan menyalakan lilin saat memperingati hari AIDS Sedunia di depan kampus Unismuh Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (1/12) malam. (AntaraFoto/ Abriawan Abhe)
Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Data dan Publikasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenti Nurhidayat menilai pemerintah masih setengah hati dalam penanggulangan HIV AIDS bila melihat kebijakan alokasi anggaran yang masih minim.

Berdasarkan penelitian FITRA, alokasi anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS baik di tingkat nasional maupun daerah masih sangat kecil dan tidak sebanding dengan peningkatan kasus yang terjadi.

"Untuk tingkat nasional pada tahun 2015, pemerintah hanya mampu menganggarkan sebanyak Rp 240 miliar untuk pembelian obat antiretroviral (ARV)," kata Yenti saat konferensi pers di kantor FITRA, Jakarta kemarin.
Yenti juga menilai anggaran penanggulangan HIV/AIDS di daerah juga termasuk minim. Bahkan, kata Yenti, ada daerah yang mencoret anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS. Dampakya, tidak ada usaha pemerintah daerah untuk menanggulangi penyakit ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai perbandingan, alokasi anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS pada 2015 di Batam senilai Rp 270 juta; Kota Tasikmalaya Rp 100 juta; Kabupaten Ciamis Rp 50 juta; Kabupaten Banyuwangi Rp 4 miliar; dan Provinsi Sumatera Barat Rp 3 miliar.

"Kami dengar pemerintah daerah Banyuwangi berniat menaikkan lagi anggarannya. Saya pikir Banyuwangi bisa dijadikan contoh sebagai daerah yang peduli untuk penanggulangan HIV AIDS," kata Yenti.

Kendati demikian, Yenti menilai masih banyak peraturan dan kebijakan pemerintah yang justru menghambat penanggulangan HIV/AIDS. Pengidap HIV/AIDS seperti pekerja seks komersial, homoseksual, dan transgender kerap dikriminalisasi dan dihukum.

"Di DKI Jakarta misalnya, ada Perda Nomor 11 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum. Orang-orang seperti transgender dan pekerja seks komersial kemudian dianggap sebagai orang yang distigma, dianggap sebagai penular HIV/AIDS," katanya.

Selain itu, aturan terkait persyaratan kepesertaan anggota BPJS Kesehatan yang sangat normatif juga dinilai menyebabkan banyak penderita HIV/AIDS yang berasal dari kelompok rentan tidak bisa mengakses kesehatan. Para petugas medis juga dinilai kerap menghakimi penderita.
Pendamping ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Christine Siahaan mengatakan tak jarang petugas medis menanyakan pertanyaan penuh stigma sehingga membuat penderita makin tertekan dan takut berobat.

"Stigma adalah kendala utama dalam penanggulangan HIV/Aids. BPJS Kesehatan memang sudah menanggung pengobatan untuk penderita HIV/Aids, namun banyak yang takut berobat karena pelayanan buruk dan sikap menghakimi dari petugas kesehatan," katanya.

Di sisi lain, Ketua Suara Kita, Hartoyo berpendapat perlunya kerja sama antara berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk mengampanyekan persoalan HIV/AIDS. Ia menilai perlu adanya pemahaman bahwa HIV/AIDS adalah persoalan kesehatan, bukan persoalan moral.

FITRA menilai pemerintah harus memperkuat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dengan menjadikannya lembaga mandiri di bawah Presiden. Masyarakat juga dinilai harus lebih dilibatkan dalam program-program penanggulangan HIV/AIDS.

Selain itu, pemerintah juga dinilai harus segera memperbaiki kebijakan dan peraturan yang menghambat penanggulangan HIV/AIDS. FITRA juga menilai perlunya ada kebijakan yang lebih mengakomodasi dalam kepesertaan BPJS Kesehatan bagi kelompok masyarakat yang rentan terinfeksi, terutama masyarakat yang tidak memiliki identitas formal.
Berdasarkan data Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan, hingga September 2014, tercatat sekitar 55.799 kasus HIV/AIDS dengan rincian sebanyak 30.001 kasus diderita laki-laki, 16.149 kasus diderita perempuan, dan 9.649 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya. Kasus-kasus ini ditemukan mulai dari bayi di bawah satu tahun hingga lansia berumur di atas 60 tahun. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER