JARAK: Pola Kejahatan Perdagangan Anak Berubah

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Senin, 14 Des 2015 08:00 WIB
Pintu masuk kejahatan perdagangan anak kini tidak lagi dari kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan kawin muda. Teknologi menjadi ancaman utama.
Foto: Thinkstock/Arvydas Kniuk?ta
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) menyebutkan pola-pola tindak kejahatan perdagangan anak berubah saat ini. Jika dahulu, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan kawin muda menjadi pintu masuk perdagangan anak, kini adalah teknologi.

Direktur Eksekutif JARAK Achmad Marzuki mengatakan tren teknologi seperti penggunaan media sosial ikut menunjang perilaku konsumtif yang kemudian berkontribusi terhadap kejadian anak menjadi korban dan target perdagangan anak.

"Hal ini bisa berbentuk prostitusi, pornografi atau isu-isu perdagangan anak lainnya. Kami ingin semua pihak untuk bekerjakeras lagi terutama tidak terhenti pada aspek regulasi saja," kata Achmad saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (14/12).
Achmad mengatakan pemerintah sudah memiliki cukup undang-undang untuk mencegah adanya praktik tindak pidana perdagangan anak. Namun, dia menilai selama ini implementasi masih menjadi kelemahan pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Salah satunya adalah kita belum memiliki sistem rehabilitasi terintegrasi bagi korban perdagangan anak. Selama ini pemerintah hanya punya pusat aduan, yang kemudian merujuk untuk rehab di tempat lain," ujar Achmad.

Lebih jauh, selain persoalan ancaman dari teknologi, Achmad juga melihat masih banyaknya pekerja anak menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk meminimalisir adanya tindak pidana perdagangan anak.

"Kalau melihat prosentase anak yang duduk di bangku sekolah sebesar 60 persenan, ada sekitar 30 persenan yang pasti bekerja. Jumlah ini tersebar merata di seluruh Indonesia," kata Achmad.
Pekerja anak tersebut, ujar Achmad, berada di berbagai sektor seperti rumah tangga, pertambangan, perkebunan, serta industri seperti garmen. Pekerja anak rentan dieksploitasi dan menjadi korban perdagangan anak karena sulitnya pengawasan dan kontrol terhadap perusahaan yang bersangkutan, Achmad menjelaskan.

Empat Aspek

Untuk menangani pekerja anak, Achmad mengatakan terdapat empat aspek yang mesti terintegrasi dan diperhatikan oleh pemerintah.

Aspek pertama adalah persoalan pendidikan bagi anak-anak pekerja informal. Pekerja anak masih tinggi, katanya, karena persoalan kebutuhan ekonomi dan keterbatasan akses pendidikan bagi para pekerja anak informal tersebut.

"Pemerintah mesti mencari cara bagaimana menjamin pekerja anak informal tetap bisa mendapatkan pendidikan seperti anak-anak lainnya," ujar Achmad.
Aspek kedua, kata Achmad, adalah bagaimana menjamin anak-anak yang bekerja di sektor informal tetap mendapatkan sistem jaminan perlindungan sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, setara seperti anak-anak yang duduk di bangku sekolah.

Achmad menilai selama ini program pendidikan dan kesehatan yang diluncurkan pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, masih menyasar anak-anak yang duduk di bangku sekolah.

"Pertanyaan muncul. Apakah kelompok anak yang masuk ke dalam kelompok marjinal sudah bisa terakses oleh sistem perlindungan sosial tersebut," kata Achmad.

Lalu, aspek ketiga, ujar Achmad, berkaitan dengan sistem kebijakan bagi angkatan kerja muda. Masih banyaknya pekerja anak, kata Achmad, menyebabkan pemerintah mesti memiliki kebijakan untuk meningkatkan kompetensi para pekerja muda ini. Sebabnya, saat ini, Indonesia masih membolehkan adanya pekerja anak dengan persyaratan tertentu.

"Sehingga, dari unskilled pekerja anak ini bisa menjadi skilled dan akhirnya mendapatkan decent work. Kami lihat pemerintah belum punya target itu," katanya.

Sementara yang terakhir, ujarnya, berkaitan dengan kebijakan dan penegakannya. Dia mencontohkan kalau masih ada perusahaan atau individual yang mempekerjakan pekerja anak tanpa mengikuti ketentuan dari pemerintah, sanksi apa yang akan diterapkan.

"Selama ini, sudah ada persyaratan seperti perusahaan atau individu bersangkutan mesti menjamin pendidikan serta membatasi jumlah jam kerja. Namun, jika ada yang melanggar, apakah sudah ada sanksi?" kata Achmad.

Oleh karena itu, Achmad meminta pemerintah untuk memperhatikan keempat aspek tersebut jika ingin melindungi pekerja anak dan berkomitmen menurunkan jumlah pekerja anak pada 2022 nanti. (utd)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER