Bantaeng, CNN Indonesia -- "Saya bercita-cita bisa membantu warga keluar dari permasalahan sosial mereka. Saya ingin sekali. Makanya saya mau jadi fasilitator," kata seorang fasilitator di Pusat Kesejahteraan Sosial Desa Bonto Majannang, Nur Wahida (25), kepada CNN Indonesia.com, pada awal Desember lalu.
Ida, panggilan akrab perempuan itu, mengatakan sebagai fasilitator Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu untuk Masyarakat Sejahtera (Selaras) dia ditugaskan untuk mendata jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Desa Bonto Majannang, Kecamatan Sinoa, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
PMKS menurut peraturan menteri sosial RI nomor 8 Tahun 2012 merujuk kepada beberapa golongan masyarakat yang membutuhkan bantuan, seperti anak balita terlantar, anak korban
kekerasan, lanjut usia terlantar, pengemis, penyandang disabilitas, tuna susila, pemulung dan gelandangan.
Ini kerja akhirat, kerja kemanusiaan. Apa yang saya senang adalah bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat,"NurFajri (30), pendamping Program Keluarga Harapan |
Dia mencontohkan di Desa Bonto Majannang terdapat banyak penyandang disabilitas yang terlantar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Salah satu Posyandu di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. (CNN Indonesia/ Prima Gumilang) |
"Kebanyakan warga di sana, tinggal diam saja di rumahnya. Enggak tahu apa yang mesti dilakukan terhadap anak mereka yang difabel. Mungkin enggak mau membebankan orang lain, makanya diam saja," kata Ida menjelaskan.
Oleh karena itu, sebagai fasilitator, dia akan mendatangi rumah ke rumah, untuk mendata berapa jumlah penyandang disabilitas. Kemudian, data tersebut akan dicatat ke dalam tablet android yang diberikan kepada setiap fasilitator.
"Data tersebut kemudian akan dilaporkan kepada setiap supervisor di Pos Perlindungan Sosial tingkat Kabupaten," kata perempuan yang masih lajang tersebut.
Ida mengaku setiap hari akan mengunjungi maksimal 10 rumah untuk mendata persoalan sosial di Bonto Majannang.
Di desa tersebut, katanya, terdapat lebih dari 1.000 kepala keluarga yang mesti dipantau. Setiap fasilitator kemudian bertanggungjawab atas pendataan persoalan sosial di satu desa atau kelurahan.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Syahrul Bayan, mengatakan pemerintah kabupaten Bantaeng telah menempatkan sebanyak 67 fasilitator SELARAS di 21 kelurahan dan 46 desa di Kabupaten Bantaeng.
Fasilitator tersebut dipilih dari beragam profesi, ujar Syahrul, misalnya seperti perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM), karang taruna, pegawai negeri sipil atau warga.
"Kami harapkan mereka bisa mendeteksi persoalan sosial masyarakat di desa yang jadi tanggungjawab mereka untuk kemudian melaporkan ke supervisor di kabupaten. Lalu, dari supervisor ke saya. Kami yang akan mencarikan solusinya," kata Syahrul menjelaskan.
Ida sendiri merupakan tenaga honorer yang dipilih sebagai fasilitator setelah melalui serangkaian wawancara di Pos Perlindungan Sosial Kabupaten Bantaeng pada awal tahun ini. Dia mengaku telah bekerja selama empat bulan sebagai fasilitator.
Untuk pekerjaannya berkunjung dari rumah ke rumah, Ida mengaku mendapatkan bayaran Rp 300 ribu per bulan. Meski kecil dan masih berstatus tenaga honor, tetapi hati Ida senang, karena dia benar-benar ingin bekerja untuk memberikan pelayanan ke warga desanya.
 Rumah warga di salah satu desa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. (CNN Indonesia/ Prima Gumilang) |
Selain Ida, ada juga Muhammad Nurfajri (30) yang menjadi fasilitator atau pendamping dari Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Bantaeng. PKH merupakan program dari Kementerian Sosial untuk memberikan bantuan tunai kepada keluarga sangat miskin (KSM).
Dinas sosial Kabupaten Bantaeng kemudian menempatkan satu pendamping PKH di setiap kecamatan. Di lokasinya, Nurfajri mendampingi sebanyak 104 Keluarga Sangat Miskin. Setiap pendamping diambil dari warga sipil yang non Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"PNS enggak boleh jadi pendamping PKH. Pendamping enggak boleh dapat dana dari dua sumber APBN atau enggak boleh
double job," ujarnya menjelaskan.
Keluarga Sangat Miskin tersebut akan mendapatkan bantuan berbeda mulai dari Rp 950 ribu hingga Rp 3,7 juta. Selain itu, ada pula bantuan kesehatan untuk ibu hamil dan balita sebesar Rp 1 juta per paket. Tak hanya itu, siswa sekolah juga mendapatkan bantuan sebesar Rp 450 ribu hingga Rp 1 juta rupiah.
"Fasilitator Selaras berbeda dengan kami yang mendampingi PKH. Kami dikontrak selama 5 tahun dan mendapatkan SK sejak Agustus 2014," kata Nurfajri.
Nurfajri setiap bulan turun ke lapangan untuk mendata warga miskin. Dia mengatakan pencairan bantuan bisa diberikan jika anggota keluarga sangat miskin rajin sekolah dan memeriksakan kesehatannya secara berkala di Puskesmas atau Posyandu.
"Kalau ada yang anaknya tidak sekolah atau cek kesehatan di Posyandu maka bantuan PKH akan dipotong 10 persen. Ini yang memotivasi mereka memeriksakan kesehatan dan pendidikan. Dulu malas, sekarang rajin karena tak mau kena potongan," ujar Nurfajri.
Nurfajri mengaku senang dengan pekerjaannya tersebut. Gaji sebesar Rp2.200.000 untuk membiayai keluarga dengan satu anak terbilang cukup.
"Gaji dicukup-cukupkan saja. Ini kerja akhirat, kerja kemanusiaan. Apa yang saya senang adalah bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kalau dihitung logika, gaji tak cukup, tapi dibawa asyik saja," ujar Nurfajri lapang dada.
Dia mengaku selama ini tidak menemukan kendala berarti atas kerjaannya tersebut. Meski, tantangan paling sulit, ujarnya, ada ketika mencapai daerah yang sulit, seperti masuk ke hutan, gunung, atau lokasi yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan. Kunjungan ke rumah bisa dilakukan, katanya, terutama untuk warga yang tinggalnya jauh.
"Mereka enggak mesti kumpul di kecamatan, saya yang mendatangi mereka untuk melakukan pendampingan. Ada tiga keluarga miskin di Kelurahan Onto dan Karatuang tinggal di wilayah pegunungan yang mesti saya datangi," ujar Nurfajri.
Lokasi pendampingan yang cukup jauh itu awalnya menjadi kendala bagi Nurfajri. Namun, intensitas pertemuan dengan warga di wilayah itu justru memperkuat hubungan emosional Nurfajri dengan para warga. Tak jarang, ujarnya, ia diberi oleh warga hasil panen untuk dibawa pulang atas ucapan rasa terima kasih mereka demi pertolongan Nurfajri. Kedekatan emosional itulah yang memotivasinya untuk tetap semangat melayani warga di pelosok desa.
"Kami sudah seperti keluarga dengan mereka," katanya.
Ida sendiri berharap agar pemerintah bisa benar-benar menepati janji mereka untuk membantu menolong warga yang kesusahan terutama mereka yang tinggal di pelosok desa dan sulit di jangkau.
"Harapan saya, di wilayah sini ada semacam pusat untuk fakir miskin. Sehingga, warga yang butuh bantuan bisa langsung mendapatkan uluran tangan. Misalnya, pemberdayaan agar lebih mampu bekerja dan mendapatkan penghasilan lebih buat keluarga mereka,"ujarnya menutup percakapan.
(utd)