Aktivis: Pejabat Negara Seharusnya Tidak Mendiskriminasi LGBT

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Rabu, 24 Feb 2016 23:01 WIB
Peneliti ELSAM, Wahyudi menilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya menjadi landasan bagi pejabat negara ketika memberikan pernyataan
Peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar mengkritik sikap pejabat negara yang mengeluarkan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko).
Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengkritik sikap pejabat negara yang mengeluarkan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). 

"Seharusnya pejabat negara tidak ikut-ikutan mendiskriminasi kelompok LGBT hanya karena alasan agama yang mereka anut. Ketika seorang pejabat negara angkat bicara, seharusnya landasannya adalah kontitusi, bukan agamanya masing-masing," kata Wahyudi saat konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (24/2).

Wahyudi menilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya yang menjadi landasan bagi pejabat negara ketika memberikan pernyataan, apalagi yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita bisa lihat contoh yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Pernikahan sesama jenis juga masih menjadi perdebatan masyarakat AS namun Mahkamah Agung AS memenangkan pernikahan sesama jenis karena berpegang teguh pada konstitusi, bukan agama yang dianut mayoritas masyarakat AS," katanya.

Wahyudi menilai seharusnya pejabat negara bisa memisahkan urusan agama dengan konstitusi. Hak-hak sebagai warga negara untuk diperlakukan adil, kata Wahyudi, harus bisa dipenuhi negara.
"Ada tindakan sistematis untuk mengekang pergerakan LGBT di Indonesia. Kemarin misalnya, situs organisasi LGBT Our Voice sempat diblokir. Padahal seharusnya negara bisa menjamin warga negaranya untuk menjadi dirinya sendiri," katanya.

Senada dengan Wahyudi, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengkritik pejabat negara yang mengeluarkan analisis soal LGBT di luar kompetensi yang dimiliki.

"Pejabat negara sudah seperti profesor ilmu sosial. Mereka malah berdebat soal nilai budaya dan tradisional yang katanya terusik oleh arus globalisasi. Itu agak aneh," kata Haris.

Ia berpendapat diskriminasi yang terjadi pada kelompok LGBT sekarang akan terulang di kemudian hari dengan menyasar kelompok minoritas lainnya.

"Kebetulan saja sekarang kelompok LGBT yang menjadi sasaran. Ke depannya masyarakat rentan akan semakin rentan. Daftar kerentanan di negara ini semakin banyak," katanya.
Lebih lanjut, Haris menilai masalah orientasi seksual adalah hal yang sangat personal. Ia berpendapat orang bebas menolak LGBT sebagai bagian dari orientasinya tetapi tidak boleh sampai merugikan dan menghilangkan hak kelompok LGBT. 

"Kebebasan menolak LGBT tidak boleh diwujudkan dengan membangun stigma buruk seperti LGBT penyakit menular. Menurut saya, pernyataan itu memotivasi orang berperilaku buruk pada kelompok LGBT," tuturnya.

Kata pejabat soal LGBT

Sebelumnya, beberapa menteri memang telah angkat bicara soal LGBT. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berpendapat fenomena LGBT menjadi masalah sosial yang mengancam kehidupan beragama. Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja bersama Komisi Agama DPR RI pekan lalu.

Dia juga menilai fenomena LGBT menjadi ancaman potensial bagi sistem hukum perkawinan di Indonesia yang tidak membenarkan perkawinan sesama jenis.

"Kami melihatnya sebagai masalah sosial yang mengancam kehidupan beragama, ketahanan keluarga, kepribadian bangsa," kata Lukman di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2).
Selain itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir menegaskan kelompok LGBT semestinya tidak boleh masuk kampus. 

Hal itu, diungkapkannya menanggapi keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di kampus Universitas Indonesia yang menawarkan konseling bagi kelompok LGBT.

"Masa kampus untuk itu? Ada standar nilai dan standar susila yang harus dijaga. Kampus adalah penjaga moral," katanya pada Sabtu (23/1).

Berbeda dengan Lukman dan Nasir yang cenderung menolak keberadaan LGBT, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kelompok LGBT memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari negara, sebab mereka adalah warga negara Indonesia.

"Apapun dia, apapun pekerjaannya, dia kan WNI, jadi punya hak untuk dilindungi," ujar Luhut di Jakarta, dua pekan lalu.

Luhut mempersilakan jika ada pihak yang berpendapat bahwa kelompok LGBT harus mendapatkan pencerahan agama dan pendekatan-pendekatan oleh para ahli sosial dan kejiwaan. Namun, ia secara tegas menentang tindakan orang-orang yang ingin berbuat anarkis terhadap kelompok ini.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai orientasi seksual seseorang merupakan urusan pribadi yang tidak perlu dicampuri orang lain.

"Negeri ini dalam hal itu tidak perlu mencampuri urusan orang internal orang lain, selama itu urusan pribadi," kata JK saat ditemui di Kantor Wapres, Kamis (18/2).

Kelompok LGBT minta keadilan

Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita (organisasi perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan bagi LGBT), Hartoyo juga telah angkat bicara dengan menulis surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat terbukanya, Hartoyo meminta Jokowi untuk memenuhi hak-hak kelompok LGBT.

Pertama, kata Hartoyo, presiden harus memastikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan atas ekspresi dan kebebasan setiap warga negara khususnya kelompok LGBTIQ atau pendukungnya untuk berperan serta dalam pembangunan terutama dalam pemajuan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di segala bidang.

Kedua, ia meminta agar kelompok yang rawan melakukan kekerasan diawasi dengan ketat. "Jika ada potensi melakukan kekerasan atau provokasi, aparat diharapkan segera menghentikan dan menindak tegas," katanya seperti tertulis dalam surat terbuka.

Ia mengatakan apabila sampai terjadi kekerasan pada kelompok LGBTIQ dan pendukungnya, maka pelakunya harus dihukum dengan berat.
Ketiga, ia menilai perlunya kebutuhan edukasi dan informasi kepada mereka yang minim pemahaman tentang LGBTIQ. Hartoyo menilai perlunya pendidikan gender dan seksualitas, baik di dalam lembaga formal maupun nonformal di semua lapisan masyarakat.

"Misalnya, dengan membuat gerakan nasional 'Membangun Indonesia Bersama Tanpa Kekerasan/Diskriminasi'. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya melibatkan semua pihak, tokoh agama, media, akademisi, terutama kelompok ketiga," katanya. (bag)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER