Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Azriana menyatakan kasus yang paling banyak dilaporkan oleh korban perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan terungkap angka kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2015 jumlahnya meningkat 9 persen dari tahun 2014. Angka tersebut merupakan jumlah kasus yang dilaporkan, sedangkan yang tidak dilaporkan diduga lebih tinggi.
"Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 sebesar 321.752 yang sebagian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama," ujar Azriana di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Senin (7/3).
Jumlah tersebut, papar Azriana, didapat dari tiga sumber, yakni Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-Badilag) sebanyak 305.535 kasus, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebanyak 16.217 kasus, dan sisanya terkumpul dari Unit Pelayanan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan, dan divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat serta surat elektronik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Azriana menjelaskan, lembaganya membagi persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi tiga ranah, yakni ranah kekerasan personal (KDRT atau relasi personal), ranah komunitas, dan ranah negara. Dari data yang terkumpul, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni KDRT yang mencapai angka 11.207 kasus atau 69 persen dari total keseluruhan.
Di ranah KDRT, kata Azriana, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik sebanyak 4.304 kasus (38 persen), disusul kekerasan seksual 3.325 kasus (30 persen), psikis sebanyak 2.607 kasus (23 persen), dan ekonomi sebanyak 971 kasus (9 persen).
"Terjadi kenaikan data kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dibandingkan tahun sebelumnya. Bila tahun lalu kekerasan seksual menempati peringkat ketiga, tahun ini naik di peringkat kedua, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72 persen (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18 persen (601 kasus), dan pelecehan seksual 5 persen (166 kasus)," katanya.
Azriana menambahkan, dalam beberapa kasus yang direkam oleh Komnas Perempuan, terjadi kekerasan terhadap perempuan (pekerja rumah tangga dan istri) yang diduga dilakukan oleh pejabat publik dari anggota parlemen yakni Fanny Syafriansyah dan Irmadi Lubis, serta kejahatan perkawinan yang dilakukan oleh mantan vokalis ST12, Charly van Houten.
Sementara di ranah komunitas, ucap Azriana, kekerasan terhadap perempuan mencapai jumlah 5.002 kasus (31 persen), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama, yakni sebanyak 3.174 kasus (63 persen), diikuti kekerasan fisik sebanyak 1.117 kasus (22 persen), dan kekerasan lain di bawah angka 10 persen, yaitu kekerasan psikis sebanyak 176 kasus (4 persen), kekerasan ekonomi sebanyak 64 kasus (1 persen), dan buruh migran sebanyak 93 kasus (2 persen, serta trafficking sebanyak 378 kasus (8 persen).
"Di ranah negara, yang menjadi tanggung jawab negara, artinya aparatur negara sebagai pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelanggaran HAM perempuan terjadi," ujarnya.
Azriana mengatakan, ditemukan delapan kasus yang terdiri dari dua kasus pemalsuan akta nikah di Jawa Barat. Enam kasus lainnya terjadi di Nusa Tenggara Timur, yang berupa kasus trafficking yang menemui hambatan di kepolisian dan kasus penganiayaan oleh oknum polisi. "Komnas Perempuan juga mencatat pembiaran pada kasus peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang berdampak pada korban perempuan," katanya.
Ia menyebutkan, pada kasus pelanggaran HAM masa lalu terdapat perkara kekerasan seksual dan stigmatisasi terhadap perempuan yang masih berlangsung hingga kini. Demikian pula peraturan daerah yang mengkriminalisasi perempuan, seperti penangkapan dua orang perempuan oleh petugas Wilayatul Hisbah di Aceh.
"Hal lain adalah kasus perempuan dalam tahanan bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap perempuan warga binaan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur yang dilakukan oleh seorang sipir laki-laki," ujar Azriana.
Temuan lainnya, lanjutnya, adalah tes keperawanan di institusi militer, wacana pengesahan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, dan perkara seorang LGBT yang dihukum penjara karena penipuan perkawinan di Sulawesi Barat.
(gil)