Jakarta, CNN Indonesia --
Kamis ke-436, para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat kembali menggelar aksi di seberang Istana Negara, Jakarta Pusat. Bertepatan dengan Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran Terkait Pelanggaran HAM Berat dan Martabat Korban, mereka menolak rekonsiliasi tanpa didahului pengungkapan kebenaran.
Sumarsih, ibu BR Norma Irmawan alias Wawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I 1998, berharap Indonesia bisa merayakan Hari Kebenaran dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Di dunia ada perayaan Hari Kebenaran tapi di Indonesia yang ada penggelapan kebenaran, pemutarbalikan fakta kebenaran," kata Sumarsih di tengah massa aksi kamisan, Jakarta, Kamis (24/3).
Sumarsih menjelaskan, selama delapan belas tahun keluarga korban tragedi 1998 tak berhenti menuntut pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam kebijakan itu disebutkan, mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dilakukan melalui pengadilan HAM Adhoc.
Dia mengatakan, selama ini hanya ada dua kasus pelanggaran HAM yang diungkap di pengadilan Adhoc, di antaranya kasus Tanjung Priok dan Timor Timur. Sementara kasus lainnya, kata Sumarsih, menggantung di Kejaksaan Agung.
Dalam kasus Tragedi Semanggi I, misalnya, hasil penyelidikan Komnas HAM tidak ditindaklanjuti Kejagung ke tahap penyidikan. Menurut Sumarsih, Kejagung menolak berkas penyelidikan tersebut dengan berbagai alasan.
Jaksa Agung HM Prasetyo justru mengusulkan adanya rekonsiliasi, tanpa didahului proses hukum untuk mengungkap kebenaran.
"Rekonsiliasi tidak masalah tetapi proses hukum harus tetap berjalan," kata Sumarsih.
Paian Siahaan, orangtua Ucok Munandar Siahaan yang hilang pada 1998, tidak bisa menerima rencana rekonsiliasi yang diusulkan Kejagung. Menurutnya, 13 orang yang hilang dan belum diketahui keberadaannya hingga kini tidak bisa disamaratakan penyelesaiannya dengan cara rekonsiliasi.
"Betapa tidak mengertinya pemerintah sekarang atas hak kebenaran itu sendiri. Khusus kasus penghilangan paksa seakan itu dapat diselesaikan dengan rekonsiliasi, itu sangat tidak masuk akal," kata Paian.
Paian dan keluarga korban orang hilang masih menunggu upaya dan tindak lanjut Kejagung atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Menurutnya, hasil penyelidikan tersebut memberikan data bahwa 13 orang yang hilang itu diculik oleh aparat.
"Itu dapat dibuktikan di pengadilan nanti ketika memanggil saksi-saksi yang disebutkan Komnas HAM nama-namanya," ujar Paian.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma mengatakan proses rekonsiliasi bisa terjadi setelah adanya proses penyidikan. Dalam proses penyidikan itu, kata Feri, bisa diketahui siapa pelaku yang harus bertanggung jawab dan bagaimana pola pelanggaran HAM itu terjadi.
"Selama ini kan korbannya ada tapi tidak diketahui siapa pelakunya," kata Feri.
Terkait alat bukti yang sulit dicari pemerintah dalam mengungkap fakta, menurut Feri, hal itu bukan alasan logis. Pasalnya, Kejagung belum melakukan penyidikan sehingga kesimpulan tersebut tidak dapat diterima.
"Bukti-bukti awal dari penyelidikan Komnas HAM sudah cukup," katanya.
Sementara Ruyati Darwin, ibu Eten Karyana yang menjadi korban pembakaran Gedung Jogja Plaza di Klender, Jakarta Timur, kecewa terhadap pemerintah yang tidak memberikan kepastian hukum kepada keluarga korban.
Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo saat kampanye menyatakan komitmennya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, kata Ruyati, sikap pemerintah saat ini tidak berbeda dengan sebelumnya.
"Kami berdiri di sini sudah sembilan tapi juga tidak mengubah sikap dan hati nurani kepala negara kita," kata Ruyati di seberang Istana Negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(bag)