Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah menyatakan maraknya tindakan penyiksaan tersembunyi (
silent crime) yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap para tahanan menjadi tolok ukur bahwa transisi demokratis Indonesia belum maksimal.
Menurut Roichatul belum maksimalnya akuntabilitas aparatur negara atas proses penahanan, penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan menyebabkan persoalan 'torture' atau 'penyiksaan' ini sulit untuk dicegah dan dihilangkan.
"Masih terdapat kendala akuntabilitas penanganan penyiksaan dalam mekanisme yudisial oleh penegak hukum," kata Roichatul dalam sebuah diskusi terbatas antar lembaga nirlaba yang berfokus pada penegakan HAM, Selasa (6/4) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dinyatakan Rochiatul dengan alasan bahwa selama ini pihaknya sulit untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan ke Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan (LP) tingkat Polsek hingga rutan.
"Seharusnya Komnas HAM sebagai lembaga negara memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan yang bisa tanpa harus mengikuti prosedur perizinan yang ada," kata Rochiatul.
Menurutnya, pihak kepolisian seharusnya bisa lebih terbuka untuk bekerja sama dengan Komnas HAM dalam mengatasi dan mencegah terjadinya penyiksaan di lapas tahanan.
"Basis akuntabilitas harus menjadi modal atas upaya perbaikan perubahan kebijakan," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Asia Justice & Rights (AJAR) Patrick Burges juga mengatakan praktik penyiksaan merupakan salah satu risiko yang dialami bagi negara yang sedang mengalami transisi politik.
Keberhasilan suatu negara mengatasi persoalan penyiksaan, menurut Burges merupakan indikator yang penting untuk suksesnya proses transisi ke demokrasi.
(obs)