LIPUTAN KHUSUS

Sekelumit Kisah Suram Dirgantara RI di Tengah Gejolak 1966

Anggi Kusumadewi, Resty Armenia | CNN Indonesia
Rabu, 20 Apr 2016 11:33 WIB
1966 tahun huru-hara. Semua hal berbau Sukarno jadi sasaran demo, termasuk Komando Pelaksana Proyek Industri Penerbangan --program pemerintah Sukarno.
Presiden Sukarno (kedua kanan) bersama KSAU pertama Suryadi Suryadarma (paling kanan). (Dok. Pribadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Suharto masih ingat betul hari itu, 50 tahun silam. Pekan keempat Maret, ia mendarat di Bandara Kemayoran Jakarta bersama Komodor Nurtanio Pringgoadisurjo, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia yang biasa ulang-alik Jakarta-Bandung dengan pesawat ringan Cessna 180.

Kala itu Suharto baru menghabiskan akhir pekan di tempat tinggal Nurtanio di Bandung. Mereka berbincang banyak hal, layaknya sahabat yang lama tak berjumpa. Keduanya memang tak bertemu selama 10 tahun karena Suharto menempuh studi di Universitas Teknologi Braunschweig, Jerman.

Suharto merupakan Staf Teknik PT Berdikari –selanjutnya disebut Komando Pelaksana Proyek Industri Penerbangan (Kopelapip) dan di kemudian hari berubah nama menjadi PT Chandra Dirgantara. Sementara Nurtanio ialah Komandan Depot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan Pesawat Terbang AURI.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nurtanio dan Suharto punya kegemaran sama: mengutak-atik pesawat terbang. Satu dekade sebelumnya, 1955, saat Suharto masih berkuliah di Institut Teknologi Bandung, ia kerap bertamu ke hanggar kecil Nurtanio yang tak jauh dari indekosnya. Suharto melihat dari dekat, mengamati waktu Nurtanio dan timnya membuat Sikumbang –pesawat pertama karya Indonesia yang seluruhnya terbuat dari logam.
Kembali ke tahun 1966 di Bandung, obrolan asyik Nurtanio dan Suharto harus berujung. Akhir pekan usai. Nurtanio mengantar Suharto kembali ke Jakarta dengan Cessna yang ia terbangkan sendiri. Kebetulan Nurtanio ada urusan di Jakarta dengan seorang Amerika tentang pembelian alat-alat dari Amerika Serikat.

Setiba di Bandara Kemayoran, Nurtanio dan Suharto berpisah. Suharto sempat melihat Nurtanio berbicara dengan si orang Amerika sebelum ia pulang ke rumah.

Esoknya, Senin 21 Maret, Suharto terkejut saat kembali ke kantornya. Kopelapip didemo mahasiswa. Itu memang tahun huru-hara. Nyaris semua hal berbau Sukarno menjadi sasaran demonstrasi, termasuk Kopelapip yang merupakan proyek pabrik pesawat terbang di masa pemerintahan Presiden Sukarno.

Melihat kantornya dikepung mahasiswa, Suharto balik kanan. Ia tak jadi masuk kantor, kembali ke kediaman.

Keesokannya lagi ketika suasana sudah tenang, Selasa 22 Maret, Suharto baru masuk kantor. Namun rekan-rekan sekantornya kaget melihat Suharto. Kemunculannya menimbulkan kehebohan. Ia disangka sosok hantu. Kawan-kawannya berseru bersahutan.

Suharto butuh waktu tak sebentar untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ia kemudian sadar disangka telah mati. Para koleganya bercerita: Nurtanio tewas, pesawatnya jatuh terempas.

Suharto, karena Senin tak masuk kantor, dikira menumpang pesawat Nurtanio yang jatuh dan ikut wafat.

Giliran Suharto kaget, tak sangka kawan yang dijumpainya kemarin lusa kini telah tiada. Suratan takdir tak dapat diduga.

“Padahal Kopelapip itu nantinya yang akan menjadi direktur, yang akan memimpin, ya Pak Nurtanio,” kisah Suharto kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Jumat (18/3).

Suharto, perintis riset penerbangan RI lulusan Universitas Teknologi Braunschweig, Jerman, yang merupakan kawan Nurtanio Pringgoadisurjo. (CNN Indonesia/Resty Armenia)
Kopelapip, kantor tempat Suharto bekerja, semula diproyeksikan menjadi pabrik pesawat besar. Untuk itu pula Suharto, sekembalinya dari Jerman, bergabung Kopelapip. Namun harapan tinggal angan. Pergolakan politik membuyarkan semua rencana.

“Bung Karno jatuh karena masalah politik. Kopelapip tak jadi besar,” ujar Suharto yang kini berusia 83 tahun, namun masih aktif mengajar sebagai dosen di Universitas Suryadarma, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur –perguruan tinggi swasta di bawah naungan TNI Angkatan Udara.

Suharto mafhum masa itu penuh gejolak. “Saya ingat sekali, tahun 1965 saya pulang dari Jerman, di Indonesia ribut, ada PKI dan segala macam. Pemimpin kantor saya anak buah Bung Karno. Dia akhirnya ditahan.”

Pemimpin Kopelapip ialah Kurwet Kartaadiredja. Dia wartawan dan pengusaha. Pemimpin umum mingguan Pewarta Djakarta yang juga pendukung politik Bung Karno.

Kurwet menjabat sebagai Menteri Negara Kepala Proyek Kopelapip. Ia bekerja bersama Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Omar Dhani dan Komodor Nurtanio.

Kurwet termasuk satu dari belasan menteri yang dituduh terlibat peristiwa Gerakan 30 September. Mayoritas dari mereka ditangkap Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto –yang kemudian naik ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dari belasan menteri yang ditangkap RPKAD, hanya lima orang yang diadili. Sisanya, termasuk Kurwet, ditahan tanpa pernah diadili.

Nasib tak kalah sedih menimpa KSAU Omar Dhani yang –setelah sempat dijatuhi vonis hukuman mati– akhirnya dihukum penjara seumur hidup. Pada periode itu, kemalangan menimpa para loyalis Sukarno, tak terkecuali Omar Dhani dan Kurwet.

Hal semacam ini, meski sempat mengejutkan Suharto yang belum lama pulang ke Indonesia, akhirnya menjadi makanan sehari-hari. “Saya hanya pegawai, orang teknik, mengurusi pesawat terbang. Politik saya tak tahu.”

Proyek gagal

Industri dirgantara tak dapat lepas dari persoalan politik dan ekonomi. Suharto kini sepenuhnya paham.

Kopelapip yang dipimpin Kurwet dengan Nurtanio selaku Manager Umum Teknik dan Produksi misalnya, dibentuk Sukarno pada 17 Agustus 1965 dengan latar belakang politik.

Seperti diceritakan dalam buku Nurtanio, Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia, Kopelapip merupakan proyek pesawat terbang komersial bekerja sama dengan Fokker, pabrik pesawat asal Belanda. Kopelapip akan memproduksi 100 pesawat angkut Fokker F27 Friendship, di dalamnya termasuk pembuatan 20 pesawat untuk Garuda Indonesia.

Berdasarkan rencana semula, dua pesawat akan dirakit di Indonesia, 20 pesawat diproduksi di Belanda, dan 78 pesawat diproduksi sepenuhnya di Indonesia. Untuk itu sebuah pabrik bakal disiapkan di Sunter, Jakarta, tak jauh dari Bandara Kemayoran.
Kopelapip sesungguhnya digunakan pemerintah Indonesia sebagai sarana untuk menembus blokade politik negara-negara Barat dengan menjalin kerja sama dengan Belanda, berhubung saat itu Sukarno sedang menjalankan politik konfrontasi melawan Malaysia.

Namun Barat menentang proyek tersebut. Inggris tak mau menyediakan mesin buatan Rolls-Royce yang diperlukan untuk memproduksi F27 bagi Indonesia. Pemerintah Sukarno pun mencari alternatif mesin buatan Jepang atau Amerika Serikat.

Dalam proyek inilah Suharto terlibat sebagai staf teknik. Namun apapun upaya Indonesia, pada akhirnya proyek itu gagal total. Bukan sebab mesin yang tak tersedia, namun karena kemelut politik di dalam negeri.

Pasca-G30S, pemimpin Kopelapip Kurwet ditahan. Program membangun pabrik pesawat di Sunter disetop, rencana memproduksi 100 pesawat F27 dihentikan, dan kontrak kerja sama Kopelapip dengan Fokker dibatalkan. Kopelapip diambil alih oleh TNI Angkatan Udara dan berganti nama menjadi PT Chandra Dirgantara.

Ambisi Indonesia membangun armada transportasi udara berskala besar lenyap sekejap. Kekacauan politik dan ekonomi berkelindan.

Meski demikian, asa dipertahankan Nurtanio. Melalui Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) yang ia inisiasi sejak Agustus 1960 –lima tahun sebelum Kopelapip berdiri, program produksi pesawat Gelatik dilanjutkan.

Lapip itulah yang menjadi cikal bakal Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (Lipnur), yang kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), selanjutnya berubah lagi jadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, dan kini bernama PT Dirgantara Indonesia.

Nurtanio Pringgoadisurjo, perintis dirgantara Indonesia. (Dok. Pribadi)
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER