Lepas 18 Tahun dari Penculikan, Nezar Masih Digayuti Tanya

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Rabu, 25 Mei 2016 14:28 WIB
Pengalaman mengerikan 18 tahun silam itu selamanya tak terhapus. Sejumlah tanda tanya berpilin di benak Nezar Patria, aktivis korban penculikan 1998.
Nezar Patria, aktivis korban penculikan 1998, hingga kini masih berharap menemukan kawan-kawannya yang hilang. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Nezar Patria sore itu terlihat sibuk di meja kerjanya. Namun semua kesibukannya di dunia pers tak dapat menghapus pengalaman mengerikan 18 tahun silam dari benak pria asal Aceh itu, selamanya.

Petang 13 Maret 1998, Nezar dijemput paksa oleh tentara dari kontrakannya di Rusun Klender, Jakarta Timur. Dia disekap selama hampir tiga bulan di sejumlah lokasi bersama dua kawannya, Mugiyanto dan Aan Rusdianto. Mereka semua satu kontrakan dan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Di lokasi penyekapan, Nezar diinterogasi, disiksa. Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu dicecar pertanyaan seputar aktivitasnya menentang rezim Orde Baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlihat jelas Nezar enggan menceritakan peristiwa getir yang ia alami itu. “Testimoni saya bisa dibaca di internet,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.

Cerita itu memang tersimpan rapi dalam arsip maya Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang merupakan afiliasi SMID.

Dalam pengantar testimoni berjudul Kesaksian Nezar Patria itu, Nezar menuliskan, “Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan yang sama sekali tak terbayangkan.”

Apapun, setelah menelan pahit semua penyiksaan yang ia lewati, Soeharto tumbang berkat gerakan mahasiswa yang amat masif dan mendapat dukungan rakyat.
Beberapa minggu setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan presiden, Nezar dan dua kawannya dilepaskan. Begitu pula enam aktivis lainnya.

Mereka beruntung. Tiga belas orang lainnya tak pernah kembali hingga kini. Bak raib ditelan bumi.

“Saya merasa bersyukur. Saya tahu di zaman kediktatoran itu kalau ditangkap kemungkinan cuma dua: hidup atau mati. Alhamdulillah saya hidup," kata Nezar.

Pencarian tak berujung

Nezar menanggung beban moral untuk mencari mereka yang belum kembali. Benaknya penuh tanda tanya.

Pun setelah proses hukum atas kasus penghilangan paksa digelar di Mahkamah Militer Jakarta Timur, dan para pelaku divonis bervariasi, mulai skors, penjara, hingga pemberhentian dari pekerjaan.

Proses hukum saat itu, ujar Nezar, sebenarnya lebih difokuskan pada upaya pengungkapan para korban penculikan yang masih hilang. Nyatanya pengadilan militer tak mampu memenuhi rasa keadilan korban dan keluarga mereka.

Nezar berkata, kasus penghilangan paksa mestinya dirujuk dari asal mula perintah penculikan itu muncul.

Menjelang penculikan, kata dia, pemerintah sempat menggelar rapat koordinasi politik dan keamanan. Sejumlah petinggi militer hadir. Hasil rapat itu memerintahkan agar aparat mengamankan kelompok mahasiswa radikal, terutama yang dianggap berusaha menggulingkan Orde Baru.

“Apakah perintahnya berasal dari sana, lalu turun ke bawah? Lewat siapa saja dan bagaimana mekanismenya? Itu tidak pernah terang,” kata Nezar.

Prajurit yang dihukum, ujarnya, tidak mungkin bergerak tanpa ada perintah jelas dari atasannya.

Pikiran Nezar melompat dari satu tanda tanya ke tanda tanya lainnya. Semua berkelindan, berpilin di benaknya.

“Kenapa yang sembilan orang dibebaskan, tapi yang 13 orang tidak diketahui sampai sekarang?”

“Apakah kelompok yang menangkap berbeda-beda?”

“Apakah mereka tak kembali karena jatuh ke tangan kelompok lain yang insubordinasi (membangkang perintah) terhadap kekuasaan (atasan) pada masa itu?”

“Pertanyaan-pertanyaan itu mesti diklarifikasi,” ujar Nezar, sama sekali tak puas.

Dia menduga ada banyak kelompok yang terlibat dalam kasus penculikan itu. Sembilan orang yang dibebaskan, kata Nezar, kemungkinan diculik oleh tim yang sama, yakni Tim Mawar Komando Pasukan Khusus. Sebelas anggota tim itu pula yang diseret ke Mahkamah Militer.

“Tapi apakah ada tim yang berbeda, saya enggak tahu. Sejauh ini Tim Mawar yang mengaku,” ujar Nezar.
Kemungkinan soal keberadaan beberapa tim berbeda juga dikemukakan kawan Nezar, Mugiyanto. Sejak dari penangkapannya di Rusun Klender, Mugiyanto curiga ada banyak satuan memperebutkannya.

Kecurigaan itu menguat kala Mugiyanto mengetahui bahwa salah seorang tahanan yang ia jumpai di Komando Rayon Militer Duren Sawit ternyata belakangan diketahui anggota Tim Mawar Kopassus, Kapten Inf Jaka Budi Utama.

Mugi, sapaan Mugiyanto, menduga Jaka menyamar untuk merebutnya dari satuan lain.

Selanjutnya saat diboyong dari Koramil ke Komando Distrik Militer Jakarta Timur, Mugi juga melihat keanehan. Di Kodim, pengantarnya dicegat dua perwira yang segera memerintahkan Mugi diturunkan.

“Kamu menghormati saya, enggak? Cepat turunkan mereka!” kata Mugi, menirukan ucapan sang perwira yang bernada tinggi.

Semua kecurigaan Nezar dan Mugi itu hingga kini belum terjawab. Nezar bahkan ragu apakah Pengadilan HAM Ad Hoc yang diusulkan, mampu mengungkap siapa yang bertanggung jawab –apakah institusi atau individu, dan apakah dapat mengetahui ada di mana mereka yang belum kembali.

Nezar berpendapat, kisah kelam penculikan dan penghilangan paksa itu sebaiknya dibuat semacam buku putih dengan mempertimbangkan versi berbeda dari analisis temuan fakta di lapangan.

Kasus penghilangan paksa, ujarnya, hanya bisa diselesaikan jika pemerintah memiliki kehendak politik untuk menuntaskannya.

Penuntasan kasus ini jauh dari ringan. Pencarian mereka yang hilang, belum berakhir.

dan setiap kali engkau tiba di ujung kisah ini,
ia tak hendak tamat. layar terkibar lagi,

dan panggung kembali menyala.
lalu kita terpacak, sendiri-sendiri

dan lampu-lampu, tak juga hendak padam.

(Endgame, Nezar Patria) (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER