Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan insiden dengan China di perairan tak cuma menimpa Indonesia, tapi juga negara-negara lain di sekitar Laut China Selatan yang dipersengketakan.
“Ini bukan hanya China dengan Indonesia, tapi China dengan seluruh negara di laut China Selatan. Gara-gara persoalan
nine-dashed line yang tidak dimengerti ini. Sepanjang wilayah suatu negara berada dalam
nine-dashed line, (negara itu berperkara dengan China),” kata Damos Dumoli Agusman, Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, kepada CNNIndonesia.com, Rabu malam (22/6).
Nine-dashed line atau sembilan garis putus-putus yakni garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nine-dashed line melewati negara-negara Asia Tenggara yang memiliki garis pantai berbatasan dengan Laut China Selatan, misalnya Malaysia, Vietnam, dan Filipina, termasuk Indonesia.
“Jadi persoalan sama terjadi di Filipina. Di sana aneh, China menangkapi nelayan-nelayan Filipina di wilayah Filipina. Pokoknya sepanjang (nelayan) itu berada dalam
nine-dashed line. Di Malaysia juga begitu. Tapi di Indonesia tidak, Indonesia yang menangkapi nelayan-nelayan China,” ujar Damos.
Nine-dashed line, menurut Damos, bertentangan dengan hukum internasional. “Sikap Indonesia tegas menolak itu.”
 Nine-dashed line menyebabkan ketegangan antara China dengan negara-negara di sekitar Laut China Selatan. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Oleh sebab China tak pernah menjelaskan gamblang tentang
nine-dashed line, ujar Damos, berbagai negara menafsirkannya berbeda-beda. Di antara penafsiran yang dianggap Indonesia berbahaya adalah
nine-dashed line diartikan sebagai garis batas terluar China.
“Jadi berdasarkan tafsir itu, semua air dan pulau (di dalam
nine-dashed line) punya China. Ini tafsir yang sangat eksesif dan amat bertentangan dengan UNCLOS
(United Nations Convention on the Law of the Sea),” kata Damos yang selama ini menangani isu teknis terkait Laut China Selatan.
Interpretasi yang juga berbahaya bagi Indonesia ialah perairan dalam
nine-dashed line dianggap sebagai hak historis China. Tafsir ini disebut Damos tak sesuai dengan UNCLOS.
Sementara tafsir yang tidak dipersoalkan Indonesia ialah jika
nine-dashed line menjadi penanda bahwa semua pulau di dalamnya merupakan milik China.
Ketiga alternatif tafsir itu, menurut Damos, dibuat oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, dan paling komprehensif di antara tafsir-tafsir lain.
Sejauh ini, ujar Damos, China hanya menjelaskan nelayan-nelayan mereka bisa melintas di wilayah dalam
nine-dashed line. Belakangan China menyebut perairan-perairan itu sebagai zona perairan tradisionalnya.
Konsep
nine-dashed line maupun
traditional fishing ground China sama-sama ditolak Indonesia karena tidak bersandar pada hukum internasional.
Apa yang dilakukan Indonesia di perairan Natuna, ujar Damos, ialah murni penegakan hukum, bukan soal politik.
Terkait insiden antara China dengan negara-negara Laut China Selatan, pada 2015 China misalnya menyerang kapal nelayan Filipina dengan meriam air. Kapal perang China juga memperingatkan kapal patroli laut Filipina untuk tak mendekat ke wilayah karang yang sedang mereka reklamasi.
Pada waktu hampir berbarengan, China kepada Vietnam menerapkan larangan mengambil ikan di Teluk Tonkin yang diklaim kedua negara. Larangan itu diprotes Vietnam, yang lantas menuding China melanggar hukum internasional, juga melanggar hak, kedaulatan, dan yurisdiksi Vietnam.
Sementara dengan Indonesia, China pekan lalu terlibat konflik terbuka di perairan Natuna. Kapal China, Han Tan Cou, ditangkap TNI Angkatan Laut setelah terkena tembakan peringatan. Kapal itu terdeteksi menebar jaring dan karenanya dituduh mengambil ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia tanpa izin.
(agk)