Toleransi Ramadan Umat Nasrani di Kampung Jawa Tondano

Abraham Utama | CNN Indonesia
Selasa, 28 Jun 2016 16:31 WIB
Adaptasi mulus antara masyarakat Kampung Jawa di Tondano dengan kelompok masyarakat mayoritas menjadi kunci menghindari wilayah itu dari konflik agama.
Seorang pria terlihat bersiap menjalankan salat bersama-sama di Masjid Al-Fatah, masjid tertua dari delapan masjid di Tondano, Sulawesi Utara. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Minahasa, CNN Indonesia -- Berada di daerah yang sebagian besar penduduk beragama Kristen Protestan dan Katolik, umat muslim di Kecamatan Tondano Utara, Minahasa, Sulawesi Utara, dapat dengan khusyuk menjalankan ibadah. Tali persaudaraan yang kuat di antara masyarakat Minahasa menghindarkan daerah ini dari konflik agama.

Kamis (23/6) pekan lalu, Kampung Jawa di Tondano Utara tak seramai biasanya. Siang itu, warung-warung makan di kampung itu tutup. Sekitar pukul 12.00 WITA, belasan pria terlihat bersiap menjalankan salat bersama-sama di Masjid Al-Fatah, masjid tertua dari delapan masjid di Tondano.

Kala ramadan, kampung tersebut baru hiruk-pikuk jelang matahari terbenam. Pedagang kaki lima berlomba menjajakan makanan berbuka di trotoar dan badan jalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekilas, Kampung Jawa itu tidak tampak berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia bagian barat, yang masyarakatnya rata-rata memeluk Islam. Bedanya, desa ini berada di salah satu kantong Nasrani di Indonesia.

Wahid Koesasi, seorang pemuda Kampung Jawa Tondano yang mendalami akar sosialnya, menyebut setidaknya terdapat 2.700 jiwa di desa itu. Sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Minahasa, tahun 2014 jumlah penduduk di Tondano Utara mencapai 12.476 orang.

“Di kampung kami, 100 persen warga menganut Islam. Sedangkan di kampung-kampung sebelah seluruhnya non-Muslim,” ujarnya.

Perang Jawa

Keberadaan Kampung Jawa di Tondano Utara tidak dapat dipisahkan dari kronik Perang Jawa di akhir abad ke-19. Antropolog yang menulis buku Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity, Tim Babcock, mengidentifikasi pendiri desa tersebut sebagai para pendukung Pangeran Diponegoro.

Berdasarkan arsip pemerintah kolonial Belanda, kata Babcock, tahun 1830 sebanyak 63 laki-laki Jawa yang mendukung Pangeran Diponegoro dibuang ke Tondano. Kyai Muslim Muhammad Halifah alias Kyai Modjo, guru spiritual Pangeran Diponegoro, tercatat dalam rombongan itu.

“Kyai Modjo, yang pada awal konflik itu merupakan tokoh penting di kelompok Pangeran Diponegoro, ditangkap tahun 1828. Dua tahun kemudian ia menjadi eksil di Sulawesi Utara dengan sekelompok orang yang berjasa pada eksistensi Kampung Jawa saat ini,” tulis Babcock.

Menurut penelusuran serupa, para pria Jawa pertama di Tondano tidak berasal dari kelas masyarakat biasa. Empat di antara mereka saat itu bertitel haji setelah berziarah ke Mekkah. Ada pula satu bekas anggota Resimen Suronatan dan sekitar 35 tahanan yang menyandang status kyai.

Ketiadaan perempuan pada kelompok tahanan asal Jawa, menurut Babcock, memicu pernikahan beda etnis dengan para wanita Minahasa. Babcock berkata, sejarah verbal di daerah itu menyebut setidaknya satu pertiga tahanan menikahi perempuan lokal.

“Beberapa dari mereka bahkan menikah lebih dari sekali,” tulisnya.

Pada periode yang sama, seperti dipaparkan Theo van Den End pada buku Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-Sekarang, badan penyebar agama Kristen Protestan dari Belanda telah memulai pekerjaan mereka di Sulawesi Utara.

Sebelum dekade 1860-an, Kristen Protestan belum berkembang di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Saat itu, tulis van Den End, Kristen Protestan juga urung menyebar di Sulawesi, kecuali Minahasa dan Sangihe Talaud.

Meski Minahasa menjadi titik terawal penyebaran Kristen Protestan, Babcock menyebutkan, para wanita yang menikah dengan para pria Jawa di Tondano belum memeluk agama yang dibawa Zending itu. Pernikahan dengan para eksilpun menandai masuknya mereka menjadi komunitas Islam mula-mula di Tondano.

Pertanian dan Toleransi

Babcock menuturkan, pembuangan para pengikut Pangeran Diponegoro ke Tandano bukan tanpa perhitungan. Pemerintah kolonial, kata dia, ingin para pria Jawa itu membuka lahan pertanian di Minahasa.

“Barangkali pemerintah kolonial menilai orang Jawa berpengalaman mengurus sawah dan dapat mengubah lahan basah yang tidak terjamah di sekitar Tondano menjadi lumbung beras produktif,” tulisnya.

Buku Niyaki Toundano Maulud Tumenggung Sis dan Orang Jaton yang ditulis Nasrun Sandiah dan Alex John Ulaen menyatakan, para pria Jawa yang diasingkan belakangan justru menjadi guru pertanian masyarakat Minahasa. Walau pun penduduk lokal kala itu telah membuka lahan pertanian, keahlian para eksil itu disebut masih lebih mumpuni.

Nasrun dan Alex menyimpulkan, karena kemampuan yang ditularkan para eksil itu mendatangkan manfaat konkret bagi orang banyak, para pria Jawa itu dapat dengan mudah masuk ke lingkungan sosial Minahasa.

“Kelompok minoritas Jawa tu mengenalkan kebudayaan pertanian ke etnis Minahasa melalui ikatan kekerabatan dengan kesediaan sukarela,” tulis mereka.

Merujuk pada sejumlah catatan sejarah tersebut, Wahid mengatakan, kehidupan sosial di Kampung Jawa yang terjadi selanjutnya adalah pencampuran dua kebudayaan. Hasilnya adalah kebudayaan baru yang tidak mengesampingkan esensi budaya awal.

“Akulturasi dapat dikatakan sebagai strategi adaptasi kelompok minoritas Jawa Tondano,” kata dia.

Wahid yang merupakan generasi keenam Kampung Jawa Tondano itu berujar, bahasa lokal yang dituturkan masyarakat Kampung Jawa mencerminkan akulturasi itu. Tak hanya itu, tradisi beribadah umat muslim Jawa pun mereka jalankan dengan pengaruh lokal.

“Salawatan Jawa sampai sekarang masih lestari di sini. Hal-hal seperti ini yang membuat Kampung Jawa di Tondano unik,” ucapnya.

Adaptasi yang mulus antara masyarakat Kampung Jawa di Tondano dengan kelompok masyarakat mayoritas, kata Wahid, menjadi kunci terhindarnya daerah itu dari konflik agama. Peristiwa berdarah di Poso, Sulawesi Tengah, awal dekade 2000-an tidak menjalar ke Minahasa.

Lagipula, kata dia, pola pikir masyarakat Tondano yang telah terdidik di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di kabupaten itu, maupun di Tomohon, kotamadya yang menyandang status kota pendidikan.

“Kampung Jawa di Tondano adalah simbol toleransi di Sulawesi Utara,” ujar Wahid.

Toleransi tersebut hingga saat ini masih terjaga. Kredo 'torang semua basudara' terbukti bukan sekedar kata-kata manis belaka.

Seperti yang pernah disampaikan Sam Ratulangi, falsafah hidup orang Sulawesi Utara adalah si tou timou tumou tou. Artinya, manusia hidup untuk memanusiakan dan menjadi berkat sesamanya. (rdk)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER