Tanjung Pinang, CNN Indonesia -- Rencana Presiden Joko Widodo menempatkan sekitar 6.000 nelayan dari Pulau Jawa ke perairan Kabupaten Natuna, dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan sosial bagi nelayan setempat.
Ketua Himpunan Cerdik Pandai Melayu Kepulauan Riau, Edi mengatakan nelayan di Natuna atau Anambas juga perlu diprioritaskan. “Selama ini, nelayan Natuna dan Anambas menggunakan alat tangkap tradisional yang hanya memiliki armada maksimal 5 GT," ujar Edi di Tanjungpinang, Sabtu (23/7), seperti dilansir dari Antara.
Selain itu, kata Edi, sampai saat ini perdagangan ikan di Natuna dan Anambas dikuasai tengkulak sehingga nelayan tempatan tidak bisa berkembang. "Nelayan tempatan saja beli minyak, beli alat tangkap, dan armada dari tengkulak. Bagaimana bisa berkembang jika pemasaran nelayan diikat tengkulak yang membeli ikan dengan harga murah," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun Edi menyatakan tidak menolak rencana Presiden Jokowi tersebut. Presiden diyakininya memiliki rencana dan tujuan yang baik untuk Natuna.
“Tapi rencana penempatan ribuan nelayan di Natuna dan Kepulauan Anambas perlu dipertimbangkan secara matang. Pertimbangan itu menyangkut Natuna yang berbatasan dengan negara asing, dan kondisi nelayan terkini,” kata Edi.
Menurut Edi, kondisi nelayan saat ini, nelayan yang bebas, tidak terikat kontrak dengan tengkulak juga kesulitan memasarkan ikan tangkapannya sehingga mau tak mau menjual ikan di tengkulak dengan harga beli yang sangat murah.
Dia mengingatkan kebijakan yang dilakukan Presiden Jokowi jangan menimbulkan penolakan hingga konflik. "Apa salahnya Jokowi membebaskan masyarakat nelayan di Natuna dan Anambas dari tengkulak supaya nelayan Natuna dan Kepri bisa berkembang," ujarnya.
Edi mengatakan kelemahan nelayan Natuna dan Anambas bukan disebabkan lemahnya daya tangkap. Tetapi karena jalur pemasaran ikan dikuasai tengkulak, mulai dari ikan hidup sampai ikan kering.
Seandainya nelayan Natuna dan Anambas dinilai masih minim untuk memanfaatkan hasil perikanan di wilayahnya, Kepri sendiri masih memiliki nelayan di Kabupaten Bintan, Lingga, Karimun, Kota Tanjungpinang. Bahkan mungkin dari Kota Batam yang bisa difasilitasi negara untuk serius memanfaatkan kekayaan perikanan di perairan Kepri umumnya, Natuna dan Anambas khususnya.
"Karena, sejak ada larangan penggunaan pukat, banyak nelayan di Kepri yang jadi pengangguran sehingga sebaiknya pemerintah bisa memberdayakan mereka untuk mengoptimalkan pemanfaatan laut Kepri atau yang ada di Natuna dan Anambas," tuturnya.
Jika pemerintah pusat telah melakukan pemberdayaan nelayan tempatan Kepri secara maksimal tapi hasilnya tidak optimal, barulah rencana presiden tersebut bisa diterima secara bertahap.
"Jangan langsung mendatangkan sebanyak itu, lakukan secara bertahap untuk memotivasi nelayan tempatan," ujarnya. Selama ini, kata dia, perhatian pemerintah pusat ke daerah perbatasan seperti Natuna dan Anambas dinilai masih kurang.
Jangankan untuk memfasilitasi armada nelayan Natuna dengan teknologi, kata Edi, banyak kasus pencurian ikan, kasus pengeboman, pukat, pembunuhan nelayan yang dilakukan oleh kapal asing di laut Tambelan, jarang mendapat perhatian pemerintah pusat.
"Begitu Tiongkok mengklaim wilayahnya yang kebetulan berbatasan dengan Natuna, baru pemerintah pusat heboh, dan langsung datang ke Natuna," tegasnya. "Yang kami sedihkan itu, ketika Pulau Jawa dirusak alamnya, dibangun semegah mungkin, sampai tak ada area tangkapan nelayan. Malah dilimpahkan ke Kepri. Apakah sengaja," tambah dia.
(obs/obs)