Jakarta, CNN Indonesia -- Tak banyak jalan menuju Krayan, dan jalur termudah dapat dicapai dari Malaysia. Ironis, karena Krayan yang berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, ialah bagian dari Indonesia.
Jika dari Malaysia menuju Krayan cukup berkendara lewat jalur darat, dari Indonesia harus melalui jalur udara dengan pesawat perintis.
Wilayah yang dijuluki ‘jantung’ Kalimantan itu merupakan tempat tinggal suku Dayak Lundayeh yang terletak di beranda Indonesia, berbatasan dengan Malaysia di sisi utara dan barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krayan ialah potret buram perbatasan Indonesia. Daerah ini masih terisolasi meski Indonesia telah merdeka 71 tahun. Bagian timur, selatan, barat, dan utara kawasan tersebut jauh tertinggal dibanding daerah-daerah lain di Indonesia.
Di sana, rumah-rumah warga berdinding kayu dan beratap seng. Jalanan belum beraspal, melainkan dipadatkan dengan pasir hitam dan sebagian tertutup tanah sehingga hanya bisa dilalui oleh kendaraan bergardan ganda.
“Hampir seluruh mobil di Krayan adalah mobil bekas dari Brunei dan Malaysia,” kata Agung Nurjana, peneliti Pusat Kajian Kepemudaan Universitas Indonesia yang melakukan riset di Krayan Induk, kepada
CNNIndonesia.com, Senin (15/8).
“Malaysia” menjadi kata kunci di sini, sebab semua barang di Krayan lebih murah jika beli di Malaysia ketimbang di Indonesia. Satu sak semen di Malaysia misal seharga Rp150 ribu, sedangkan semen Indonesia yang dibawa dari Tarakan ke Krayan mencapai Rp1,5 juta. Jauh lebih mahal.
Harga barang-barang dari Indonesia membubung lantaran ketiadaan transportasi darat. Semua harus lewat jalur udara.
“Kalau carter, harganya lebih mahal lagi. Sepuluh sak semen Malaysia sama dengan satu semen dari Indonesia,” kata Kepala Adat Krayat Darat, M Rining Liang.
Ini juga yang menyebabkan masyarakat Krayan jarang menggunakan produk dalam negeri. Mereka amat bergantung pada Malaysia untuk urusan kebutuhan sehari-hari seperti minyak goreng, gula, mi instan, hingga tabung gas untuk memasak.
Situasi itu tak pelak memunculkan anekdot di tengah masyarakat Krayan: di dada ada burung garuda, di perut ada harimau.
Harimau merupakan bagian dari lambang negara Malaysia.
Slogan “garuda di dada, harimau di perut” itu sesungguhnya ekspresi kekecewaan warga Krayan atas kesulitan yang mereka alami.
“Kami suka guyon. Kami ini rakyat Indonesia, tapi di perut kami ada kencing harimau, karena kebutuhan masyarakat didatangkan dari Malaysia. Dari minyak, gula, barang konstruksi, bahan bakar minyak, semua kami datangkan dari sana,” kata Rining.
Masyarakat Krayan bukannya senang karena membeli semua barang dari Malaysia dengan harga lebih murah. Ketergantungan pada Negeri Jiran membuat mereka kerap dilecehkan.
Aparat Malaysia sering membongkar, menyita, bahkan membuang barang yang mereka beli dari Malaysia.
“Bayangkan, Bapak bawa barang, beli di Malaysia, ada kuitansi toko. Lalu barang dibuang, dibongkar. Hak kami di mana? Sementara, kami beli di Indonesia mahal banget. Akhirnya dengan cara apapun supaya dapat barang –mengemis, menyogok, bahkan lewat hutan,” kata Sekretaris Kabupaten Nunukan, Tommy Harun.
Wilayah Indonesia dan Malaysia di Krayan bahkan terlihat kontras. Dari pintu tapal batas kedua negara di Long Midang, Krayan Induk, terlihat jalan menuju Serawak Malaysia beraspal mulus. Di sisi sebaliknya, jalanan berupa tanah berbatu yang bergelombang.
 Perbatasan Indonesia-Malaysia di Krayan, Kalimantan Utara. Jalan beraspal menuju Serawak, Malaysia. Jalan berpasir menuju Krayan Induk, Indonesia. (Dok. Pusat Kajian Muda UI/Agung Nurjana) |
Warga Krayan yang jengkel berulang kali meminta perhatian Jakarta. Tokoh-tokoh masyarakat setempat bahkan terbang ke Jakarta untuk mencari solusi. Namun 1001 cara bak membentur dinding.
“Mau dibicarakan sudah tidak mempan, akhirnya menjadi olok-olok. Muncul anekdot ‘Garuda di dada, harimau di perut’ karena masyarakat kecewa dengan pemerintah Indonesia,” ujar Tommy.
Getir kehidupan warga Krayan tak cuma soal memenuhi barang kebutuhan sehari-hari. Fasilitas publik dasar pun tak mereka peroleh.
Krayan hanya dialiri listrik selama enam jam sehari. Listrik dipasok dari sebuah sebuah pembangkit listrik tenaga solar (PLTS).
“Kami menikmati listrik malam hari saja, mulai jam 6 sore hingga 12 malam,” kata Julmondayson, tokoh pemuda masyarakat Krayan.
Di Krayan, pemerintah sempat membangun pembangkit listrik tenaga air. Sayangnya, air sebagai sumber tenaga pembangkit tidak mengalir dengan baik. Alhasil, PLTA jadi rusak dan tak dapat diperbaiki karena ketiadaan suku cadang.
SetiaSetia di tengah sengsara. Itulah yang dipilih masyarakat Krayan. Menurut Rining, warga tak pernah berpikir untuk pindah kewarganegaraan meski cacian dan hinaan dari negara tetangga jadi makanan sehari-hari.
Hidup penuh derita mereka pilih dan terima secara sadar. Rining percaya, satu saat nanti kondisi di Krayan akan membaik, seiring percepatan pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah.
“Kami tidak mudah diobok-obok dengan materiil. Kecintaan masyarakat Krayan terhadap Indonesia, baik ketika zaman tak enak maupun zaman sekarang yang agak mendingan, tak berubah,” ujar Rining.
Apalagi, kata dia, Krayan memiliki potensi tersembunyi yang belum dioptimalkan. Krayan memiliki jenis padi unggul yang menghasilkan beras Adan. Padi itu disebutnya sangat istimewa, tidak bisa ditanam selain di Krayan.
Mayoritas warga Krayan hidup sebagai petani. Dari sekitar 13.856 orang penduduk, 6.740 jiwa menggarap lahan pertanian berupa sawah tadah hujan seluas 2.175 hektare.
Krayan juga memiliki garam gunung yang tak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Garam berkualitas bisa dihasilkan di belantara Krayan lantaran daerah itu memiliki kontur wilayah dikelilingi pegunungan dan dataran tinggi.
“Dalam kondisi sulit, makan nasi pakai garam bisa hidup. Andaikata kami ada gesekan dengan Malaysia dan mereka menyetop kebutuhan, kami tetap bisa hidup,” kata Rining.
Ia berharap pembangunan jalan yang menghubungkan Krayan dengan Kabupaten Nunukan dapat segera berlangsung. Akses jalan itu sangat vital untuk menggerakkan perekonomian masyarakat Krayan.
 Murid-murid SD di Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. (Dok. Pusat Kajian Muda UI/Agung Nurjana) |
“Kami bangga lahir di Indonesia, walaupun di perbatasan,” kata Julmondayson.
Maka, hari kemerdekaan Republik Indonesia di Krayan dirayakan sebulan penuh. Perayaan besar-besaran itu bukan tanpa alasan.
“Dulu katanya pemerintah takut, karena nasionalisme di wilayah perbatasan dikhawatirkan rentan,” ujar Julmondayson.
Tommy, warga asli Krayan, mengenang masa kecilnya, kala masyarakat dari pelosok Krayan berbondong-bondong mendatangi kantor kecamatan untuk ikut berbagai perlombaan 17 Agustusan.
“Dari kampung ke tempat perayaan 17 Agustusan, saya jalan kaki tiga hari. Kami datang dari kampung ke kecamatan dengan beragam persiapan,” kata dia.
Saat itu, tuturnya, belum ada sepeda motor sebagai alat transportasi. Perayaan juga belum mendapat dukungan fasilitas apapun dari pemerintah pusat. Bendera Merah Putih saja tidak diberi.
Warga membuat bendera sendiri. Perlombaan digelar atas swadaya masyarakat, dengan dana disumbang oleh pegawai negeri sipil hingga pengusaha.
Baru beberapa tahun terakhir, bendera Merah Butih berukuran puluhan meter dikirim ke Krayan. Dana bantuan pemerintah pun baru ada setelah tahun 2000.
Acara 17 Agustus-an yang panjang di Krayan berlangsung bagai festival, dihadiri penduduk negeri tetangga yang berasal dari Serawak, Malaysia.
Warga Serawak bahkan mengirim tim sepak bola untuk mengikuti kompetisi di Krayan, melawan 65 desa di daerah itu.
“Bagaimanapun, masyarakat di sekitar perbatasan Serawak satu rumpun dengan warga Krayan,” ujar Riring.
Sejarah saudara serumpun beda negara ini bahkan menguatkan rasa nasionalisme warga Krayan, sebab mereka dulu turut andil menjaga kedaulatan wilayah Indonesia di perbatasan saat Sukarno melancarkan Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
“Saat konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1962-1964, banyak masyarakat Krayan yang menjadi sukarelawan, bertempur bersama TNI,” kata Rining.
Warga Krayan pada masa itu dilatih angkat senjata membantu TNI dalam operasi militer Indonesia melawan tentara Malaysia dan sekutu.
Kini, setelah semua perjuangan mereka, warga Krayan memanggil pemerintah. Mereka ingin bergabung seutuhnya dengan Indonesia, sama sejahtera dengan daerah lain.
(rel/agk)