Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Belu, CNN Indonesia -- Tujuh puluh satu tahun merdeka. Sebagian besar wilayah tapal batas yang menjadi beranda terdepan Indonesia, dalam kondisi terlalu memilukan. Warga Indonesia di perbatasan hidup dalam kondisi serbaterbatas. Tangan pemerintah jauh dari genggaman mereka.
Di Pulau Kalimantan contohnya. Warga Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mendapatkan 99 persen kebutuhan bahan pokok masyarakat dari Malaysia. Satu persennya apa? Hanya bahan bakar minyak yang yang baru-baru ini dipasok Pertamina dan cenderamata yang dibawa warga Krayan ketika keluar kota.
Warga Krayan lebih dekat menuju Sabah dan Serawak, Malaysia daripada Indonesia. Menuju Malaysia cukup dengan motor dan mobil, dengan waktu tempuh setengah jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi jika mereka mau ke wilayah Indonesia lainnya, harus pakai pesawat perintis. Tidak ada jalan darat yang bisa menembus jantung surga suku Dayak Lundayeh itu. Dampaknya, pasokan sembako dari Indonesia terputus dan jika dipaksakan harganya akan sangat mahal.
Ketergantungan itu membuat mereka kebal dilecehkan Malaysia. Warga Krayan seperti mengemis ke Malaysia. Mereka rela dihina, menyogok, hingga menembus hutan belantara berhari-hari demi barang Malaysia.
Hinaan dan lecehan jadi makanan sehari-hari. Mereka diam, tak kuasa, karena perut mereka disuapi Harimau Kuning Malaysia.
Lalu, apakah mereka meninggalkan Indonesia? Tidak. Cinta mereka pada Indonesia sudah mengalir dalam darah.
Sejarah masa lalu Operasi Dwikora (Ganyang Malaysia oleh Presiden Sukarno) menjadi saksi sejarah bagaimana warga perbatasan Kalimantan Utara berjuang menyabung nyawa bagi Indonesia.
 Suku Dayak Lundayeh yang tinggal di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. (Puska Muda FISIP UI/Agung Nurjana) |
Kepala Adat Besar Krayan Darat M Rining Liang menceritakan, kecintaan warga Krayan pernah ditunjukkan dengan menolak mentah-mentah miliaran ringgit dari perusahaan Malaysia yang meminta hutan mereka.
Surga para Dayak Lundayeh itu terisolir dan terhina! Padahal, hanya di sanalah Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia dirayakan satu bulan penuh.
Tak diacuhkan Jakarta, tapi mereka sangat cinta Indonesia. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Di timur selatan Indonesia, tepatnya Pulau Timor, pemerintah mampu menyediakan kebutuhan bahan pokok. Bahkan negara tetangga, Timor Leste, menggantungkan kebutuhkan masyarakatnya dari produk Indonesia.
Namun, kondisi alam yang jauh dari subur, dan fasilitas publik yang sangat minim, membuat kehidupan warga dan penjaga sipil perbatasan itu jauh dari sejahtera. Faktor politik dan kekerasaan pada masa lalu mempersulit mereka bangkit dari keterpurukan.
Di Atambua saja, ibu kota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, masih ada warga eks Timor Timur yang tidak mendapatkan listrik dan air bersih. Di perbukitan Laktutus, wilayah kedaulatan Indonesia, warga harus membayar ke Timor Leste untuk menelepon saudaranya di Indonesia. Lucu bukan?
Masyarakat perbatasan tidak butuh fasilitas mewah yang dimiliki warga kota. Yang mereka minta sederhana, hanya fasilitas publik mendasar seperti jalan, air bersih, listrik, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan jaringan komunikasi. Selebihnya, mereka bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
[Gambas:Video CNN]Nasionalisme kesejahteraanNasionalisme menurut Hans Kohn adalah landas pikir manusia yang memberikan kesetiaan tertinggi kepada negara, atau sederhananya: rela mati demi negara. Lothrop Stoddard menambahkan, kesetiaan itu muncul dari rasa percaya yang hidup di hati manusia karena, menurut Otto Bouer, ada persamaan nasib dan sikap.
Nasionalisme terbentuk dari tiga tahap yang dimulai dari persamaan nasib, lalu menimbulkan rasa percaya, dan menciptakan kesetiaan.
Berkaca dari Indonesia, kolonialisme menjadi dasar persamaan nasib yang menyatukan ribuan perbedaan bangsa Indonesia. Kemudian, kesamaan nasib itu membuat mereka saling percaya dalam berjuang. Akhirnya, bangsa Indonesia berikrar setia bahkan rela memberikan nyawa demi Indonesia merdeka.
Maka terbentuklah nasionalisme keamanan. Nasionalisme ini membutuhkan jargon yang bisa mengikat dan mengakar di jiwa. Untuk itu digunakanlah slogan 'NKRI harga mati'.
NKRI. Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Doktrin 'NKRI harga mati' bergerak dalam lingkup teritorial, kedaulatan, dan pemerintahan. Pelanggar tiga lingkup tersebut dicap tak nasionalis. Pendekatan keamanan pun menjadi senjata terdepan jika terjadi pelanggaran terhadap nasionalisme ini.
Dalam taraf tertentu, cara tersebut sangat ampuh. Buktinya, Indonesia adalah negara yang sangat sukses menyatukan ribuan perbedaan bahasa, suku, adat istiadat, dan lainnya.
Indonesia tumbuh menjadi negara merdeka, berdaulat, dan dihormati di Asia Tenggara, juga dipandang dunia.
Tapi, dalam perkembangannya, kehidupan manusia yang semakin global dan saling tergantung menyebabkan nasionalisme keamanan harus mengalami pergeseran.
Nasionalisme tidak hanya dalam lingkup keamanan, namun menuju tataran kesejahteraan.
Ditarik ke kehidupan perbatasan, nasionalisme tidak bisa dilihat semata-mata hanya dari garis imajiner perbatasan yang diwujudkan dalam patok-patok batas tak bernyawa, dan didengar dalam slogan-slogan yang membakar jiwa.
Tidak tepat lagi jika pemerintah memandang perbatasan sebagai wilayah yang rawan disintegrasi sehingga pendekatan keamanan dikedepankan. Saat ini, pendekatan keamanan seharusnya hanya sebagai penguat atau pelengkap.
Nasionalisme harus diturunkan pada tataran implementasi yang nyata dan menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat perbatasan.
Keamanan kini bukan menjadi objek utama dalam kehidupan masyarakat perbatasan. Manusia perbatasanlah objek yang harus dilindungi, dipedulikan, dan disejahterakan.
Dengan kata lain, tidak boleh ada pernyataan 'Tidak masalah hidup miskin dalam kekurangan demi kedaulatan dan keutuhan wilayah'. Kini Negara wajib hadir melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat perbatasan.
Doktrin NKRI harga mati sudah usai. Indonesia telah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Tapi apakah Indonesia sudah menjadi negara yang menyejahterakan rakyatnya? itu belum.
Jangan pertanyakan rasa cinta mayoritas rakyat perbatasan di Timor pada Indonesia, karena mereka pasti akan tersinggung bahkan marah. Nasionalisme mereka lebih dari mereka yang hidup di kota, dengan segala kenyamanan fasilitas yang diberikan negara.
Yang diperlukan warga perbatasan adalah pendekatan ekonomi, melalui pembangunan fasilitas publik. Titik.
"Itu sudah," ucap orang Timor, menandakan pentingnya pendekatan kesejahteraan.
Jadi, jangan terlalu lantam –yang dalam Bahasa Batak artinya panjang mulut tanpa data autentik– bicara mengenai nasionalisme kepada masyarakat perbatasan ini.
Rakyat tapal batas menunjukkan nasionalisme dalam tiap embusan napas perjuangan hidup. Dengan kesetiaan tanpa batas pada Indonesia, di ruang penuh keterbatasan.