Jakarta, CNN Indonesia -- Forest Watch Indonesia (FWI) menilai pemerintah dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), tidak transparan dalam soal perizinan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
Pernyataan tersebut merupakan respons terhadap langkah KemenATR/BPN pada 9 Agustus lalu yang mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atas putusan Komisi Infromasi Pusat (KIP). KIP dalam putusannya menyatakan bahwa dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit sebagai informasi terbuka dan bisa diakses publik.
Pengkampanye Forest Watch Indonesia, Linda Rosalina mengatakan, langkah KemenATR/BPN justru berbanding terbalik dengan kampanye pemerintah yang sedang gencar melakukan evaluasi terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit. Langkah itu juga semakin memicu kecurigaan FWI atas proses perizinan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka mengajukan banding itu dengan alasan yang dapat membatalkan peraturan (kebijakan informasi publik) adalah Mahkamah Agung, bukan sidang komisi informasi," kata Linda kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Jumat (19/8).
Linda menyayangkan langkah tersebut karena menurutnya, putusan Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) sudah sesuai dengan Undang-Undang no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa setiap badan publik berhak memberikan akses bagi setiap pemohon untuk mendapatkan informasi publik.
"Tapi, setelah putusan keluar dan KIP menyatakan itu terbuka untuk publik, mereka malah mengajukan banding, kami sulit dong dapat informasi padahal kami punya hak," katanya.
Majelis Komisioner KIP pada 22 Juli lalu mengabulkan gugatan Forest Watch Indonesia yang meminta Kementerian ATR/BPN membuka data hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit di Kalimantan.
Linda menyatakan gugatan itu lantaran FWI menemukan sejumlah kejanggalan. Seperti indikasi ketimpangan antara realisasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan besaran 9,1 juta hektare.
Selain itu, FWI juga menemukan kejanggalan pada ranah perizinan. Penguasaan lahan dinilai tumpang tindih antara lahan masyarakat adat dengan lahan konsesi perkebunan kelapa sawit.
"Saat sidang pun sebenarnya mereka (ATR/BPN) tetap bersikukuh kalau apa yang kami (FWI) minta tidak bisa mereka berikan," Linda mengungkapkan.
Kini, dengan langkah banding yang diajukan KemenATR/BPN, Linda menyatakan bahwa FWI semakin curiga atas kebijakan usaha terhadap perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
(wis/wis)