Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi memberikan catatan penting dari pertimbangan putusan perkara yang diajukan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM perlu dilengkapi untuk menjamin kepastian hukum bagi pihak korban.
Itu merupakan catatan dari majelis hakim MK saat memutus gugatan perkara dengan Nomor 75/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Paian Siahaan, ayah korban penghilangan paksa 1997/1998, dan Ruyati Darwin ibunda korban kerusuhan Mei 1998.
MK secara khusus memberikan catatan pada pembentuk UU untuk melengkapi ketentuan dalam pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan, terutama mengenai frasa "kurang lengkap". Hal itu penting untuk mengatur penyelesaian apabila terjadi perbedaan pendapat antara penyelidik dengan penyidik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Yati Andriyani mengatakan, DPR sebagai pembentuk UU harus segera merevisi pasal 20 UU Pengadilan HAM agar tidak mengurangi hak korban atas kepastian hukum.
"DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM selaku pembuat undang-undang harus segera melengkapi ketentuan dalam pasal 20 UU Pengadilan HAM," ujar Yati di kantor KontraS, Jalan Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Yati menjelaskan, frasa "kurang lengkap" dalam pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM dinilai mengandung multitafsir sehingga mengakibatkan terjadinya bolak balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Praktik kerja kedua lembaga itu dianggap telah meniadakan proses hukum atas penyelesaian kasus HAM.
Selama ini, menurut Yati, tidak ada ketentuan yang jelas soal batasan waktu dan berapa kali proses pengembalian berkas bisa dilakukan. Selain itu, undang-undang itu juga tidak menyebutkan sanksi tegas kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung jika kedua lembaga itu saling melempar tanggung jawabnya.
"Putusan MK mengafirmasi bahwa korban pelanggaran HAM berat telah mengalami ketidakpastian hukum yang diakibatkan oleh lemahnya kinerja lembaga negara dalam mempraktikkan norma hukum," kata Yati.
Majelis menegaskan bahwa pengembalian berkas hanya dimungkinkan berkenaan dengan ketidakjelasan tindak pidana atau cara dilakukannya, dan berkenaan dengan bukti-bukti.
Dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim MK menyatakan pembentuk UU dalam hal ini DPR dan Kementerian Hukum dan HAM dapat melengkapi ketentuan dalam pasal 20 UU Pengadilan HAM guna memberi jalan keluar bagi beberapa persoalan yang dihadapi selama ini.
Persoalan itu di antaranya, perbedaan pendapat yang berlarut-larut antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran berat HAM yang berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan.
Selain itu, penyelesaian apabila tenggang waktu 30 hari sebagaimana dalam pasal tersebut, terlampaui dan penyelidik tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya. Selanjutnya, perlunya langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara bila merasa dirugikan oleh pengaturan pada kedua persoalan itu.
Yati berharap, dengan ketegasan pengaturan itu tidak ada lagi warga negara yang mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana yang dialami para pemohon.
(wis/wis)