Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Soeharto pada Maret 1983 mengangkat Hartarto Sastrosoenarto menjadi Menteri Perindustrian. Hartarto yang menggeluti dunia industri sejak 1960-an, ketika menjabat menteri sangat menentang ekspor bahan mentah dan mendesak agar Indonesia hanya boleh mengekspor hasil olahan.
Kini, setelah 33 tahun, anak kedua Hartarto meneruskan bapaknya memimpin kementerian yang menangani kebijakan industri Indonesia. Airlangga Hartarto, 53 tahun, meladeni berbagai pertanyaan CNNIndonesia.com dalam pertemuan Kamis (25/8).
Ketika masa kecil apakah merasa kehilangan waktu bersama ayah yang pejabat? Meski ayah saya seorang menteri, namun masih bisa menyempatkan diri berkumpul dengan keluarga. Jadi tidak merasa kehilangan sosok ayah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana cara meluangkan waktu dengan ayah yang seorang pejabat?Dulu di Jakarta belum banyak tempat wisata seperti sekarang. Kalau dulu hanya ke Monas atau ke Ancol. Kalau keluar kota, antara Bandung dan Bali.
Setelah menjadi menteri sekarang, juga menyediakan waktu dengan keluarga?Keluarga saya sudah terbiasa dengan jadwal saya di politik yang padat. Meski begitu, saya berusaha untuk meluangkan waktu untuk mereka. Saya juga mendorong anak-anak lebih banyak fokus ke pendidikan.
Bagaimana peran Ayah dalam bisnis dan politik?Lebih banyak ke pendidikan. Sejak SD saya sudah bercita-cita jadi insinyur. Itu pengaruh dari orang tua sampai ke Kuliah (lulus Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada). Kalau untuk bisnis dan politik, dilepas oleh orang tua.
Tapi bisa sama dengan Ayah anda, di Kementerian Perindustrian dan Golkar?Kalau dulu memang hampir semua PNS masuk Golkar. Saya masuk ke Golkar bukan karena orang tua. Saya masuk Golkar melalui Kosgoro tahun 1998. Itu pilihan politik sendiri.
Pengagum Mahatma Gandhi?Dari sisi prinsip iya. Dalam hidup kita harus punya prinsip dan menjaga nama baik.
Tujuh hal yang harus dihindari, kata Gandhi, di antaranya bisnis tanpa moral dan politik tanpa prinsip. Bagamana anda menerapkannya?Bisnis tanpa moral artinya bisnis yang berkelanjutan. Misalnya bahan-bahan yang harus didaur ulang. Politik tanpa prinsip, di Golkar prinsip politiknya adalah NKRI, pluralisme dan mendorong pertumbuhan.
Dengan latar belakang pengusaha dan kekuatan politik, apa mimpi besar anda?Ikuti realita saja, mimpi saya, industri nasional harus bangkit.
Mimpi sebagai politikus, apa tidak ingin jadi Presiden?Saya ikut beban yang diamanahkan, karena amanah ini yang harus dipegang. Seperti kata Gandhi, kita mesti melakoni yang ditugaskan diamanahkan. Dulu dengan harga gas US$ 1, bisa membangun pabrik pupuk di Bontang dan Aceh serta pabrik semen di Andalas (Padang), itu periode ayah saya memimpin. Sekarang situasi tentu beda, harus ada yang dilakukan lebih baik lagi. Makanya prioritas saya adalah (energi) gas.
Siapa guru politik anda?Semua mantan Ketua Umum Golkar, Pak Akbar, Pak Aburizal, Pak Agung.
Pak JK (Jusuf Kalla)?(Tertawa) Dia guru politik dan juga mentor saya.
Ada yang beda setelah jadi menteri?Bedanya dulu saya mengawasi, sekarang sebagai Menteri justru yang diawasi. Kalau dulu seperti komisaris, sekarang saya bagian dari direksi.
(sur/yul)