Jakarta, CNN Indonesia -- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai pembangunan proyek infrastruktur skala besar selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla justru menciptakan kemiskinan baru dengan lajunya perampasan tanah untuk memfasilitasi produksi di tingkat global.
Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin mengatakan proyek infrastruktur yang diprioritaskan Presiden justru hanya menghubungkan produsen dan konsumen di tingkat global. Hal itu, sambungnya, justru memperkecil kue ekonomi masyarakat lokal yang menyebabkan ketimpangan.
Dia menuturkan pelbagai proyek besar itu mempecepat laju perampasan tanah masyarakat lokal—terutama lahan pertanian—sehingga perubahan lahan terjadi. Perubahan lahan yang dimaksud adalah dari lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Alur pembangunan itu semakin menjauh dari ketahanan pangan. Konversi tanah dan proyek infrastruktur tidak terkorelasi dengan ekonomi rakyat,” kata Iwan kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Presiden Jokowi memprioritaskan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu agenda pembangunan. Dia pun mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 soal Proyek Strategis Nasional, berisi tentang pembangunan sedikitnya 225 proyek skala besar macam bandara, jalan tol, pembangkit listrik dan waduk.
KPA juga menyatakan percepatan perampasan tanah itu juga mengakibatkan munculnya kemiskinan masyarakat lokal. Hal tersebut, kata Iwan, disebabkan bias dalam konsep membangun ekonomi dari pinggiran, karena lebih memfasilitasi kepentingan bisnis.
Terkait dengan penguasaan tanah, organisasi itu mencatat sekitar 70 kasus konflik agraria terjadi karena proyek pembangunan infrastruktur skala besar. KPA mencatat praktik yang terjadi di lapangan adalah penggusuran masyarakat, perampasan tanah hingga kekerasan dalam pembebasan lahan.
“Proyek infrastruktur itu justru bergerak mempertajam ketimpangan,” kata Iwan.
[Gambas:Video CNN]Sementara itu, Serikat Petani Indonesia dan Indonesia Human Rights Commission for Social Justice (IHCS) menyatakan sedikitnya sepuluh jenis pelangggaran hak asasi petani. Laporan bersama itu diluncurkan pada Desember tahun lalu, memotret minimnya perlindungan terhadap para petani.
Salah satunya adalah belum rampungnya penyelesaian konflik agraria selama 2014-2015. Laporan itu menyatakan jumlah korban dari konflik itu adalah tiga petani tewas; 194 petani jadi korban kekerasan; 65 petani dikriminalisasikan; dan 2.700 petani tergusur dari lahan pertanian.
Kedua organisasi itu mengatakan sepuluh jenis hak asasi petani yang dilanggar adalah hak atas kehidupan, hak atas tanah, hak atas benih, hak atas permodalan, dan hak atas informasi dan teknologi pertanian. Lainnya adalah hak untuk menentukan harga, hak atas perlindungan nilai-nilai pertanian, hak atas keanekaragaman hayati, hak pelestarian lingkungan, serta hak kemerdekaan berkumpul.
Terkait soal tanah, laporan bersama itu juga mencatat 31 persen konflik agraria petani terjadi dengan pemerintah, sedangkan 69 persen konflik itu berlangsung dengan pihak swasta. Kondisi tersebut, paparnya, diperparah dengan adanya keterlibatan aparat keamanan dan militer.
“Oleh karena itu, reforma agraria harus segera dijalankan pemerintah sehingga pemerataan distribusi berpihak pada prinsip keadilan,” demikian SPI dan IHCS yang dikutip pada Rabu (31/8). “Dengan dijalankannya reforma agraria, petani merasakan betul keberpihakan pemerintah.”
(asa/wis)