Jakarta, CNN Indonesia -- PDI Perjuangan akhirnya memilih Basuki Tjahaja Purnama sebagai bakal calon gubernur DKI pada Pilkada 2017 awal tahun depan. Dengan pilihan tersebut, PDIP sebenarnya tengah melakukan 'perjudian politik' yang cukup besar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Untuk jangka pendek, 'perjudian politik' itu tentunya merujuk pada peluang Ahok, sapaan Basuki, dalam memenangkan Pilkada DKI Jakarta.
Di atas kertas, keputusan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memilih pasangan petahana Ahok-Djarot memang terbilang sangat tepat. Hal itu setidaknya tercermin dalam hasil survei yang ramai diselenggarakan oleh sejumlah lembaga survei menjelang pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil survei dari Lembaga Survei Politik, (LSPI), Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), dan CSIS, masih menempatkan nama Ahok di posisi teratas dalam hal elektabilitas.
Mantan Bupati Belitung Timur itu mengalahkan elektabilitas kandidat calon gubernur lain seperti Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, bahkan Tri Rismaharini.
Namun, di balik keunggulan tersebut, ada tren penurunan yang membuka peluang bagi rival-rival Ahok untuk meraih kemenangan. Hasil survei dari LSPI, misalnya, menunjukkan bahwa elektabilitas Ahok mengalami penurunan sebesar 1 persen.
Survei LSPI yang digelar pada 22-28 Agustus 2016 menyebut elektabilitas Ahok sebesar 35 persen, atau turun 1 persen dibandingkan hasil survei pada Mei lalu yang mencatat angka 36,2 persen.
Pun dalam survei yang dibuat KedaiKOPI pada 2-5 September 2016, elektabilitas Ahok hanya mencapai angka 41.6 persen atau turun cukup banyak dari survei sebelumnya yang mencatat elektabilitas hingga 47.9 persen pada survei periode 11-13 Agustus 2016.
Merosotnya elektabilitas itu diikuti dengan meningkatnya ketidakpuasan warga Jakarta terhadap kepemimpinan Ahok. Ketidakpuasan itu tak hanya tercermin dalam sejumlah hasil survei, juga terlihat dari maraknya aksi demo dari warga ibu kota, baik yangberasal dari kaum miskin kota, maupun dari organisasi keagamaan tertentu.
Kombinasi dari penurunan elektabilitas dan ketidakpuasan warga jelas tak bisa diremehkan. Sebab, jika rival-rival Ahok dan PDIP mampu menjaga momentum itu, bukan tak mungkin akan semakin menyaingi elektabilitas Ahok.
Perjudian politik jangka pendek itu menghadapkan PDIP pada risiko kekalahan yang artinya partai akan kehilangan kendali mereka atas Jakarta sebagai barometer politik nasional. Jika benar terjadi, itu bisa menimbulkan efek domino, khususnya terhadap kans PDIP memenangkan Pemilu Presiden 2019 mendatang.
Bukan Petugas PartaiKalaupun Ahok memenangkan Pilkada DKI Jakarta, PDIP tetap akan berada dalam ‘perjudian politik’. Yakni perjudian politik jangka panjang.
Meski didukung oleh sejumlah partai, Ahok adalah sosok yang secara struktural tak terikat oleh partai manapun.
Statusnya yang relatif independen itu berpotensi mengundang ‘masalah’ di kemudian hari bagi partai-partai pendukungnya. Sebab, dengan status tersebut, Ahok praktis tak memiliki kewajiban politik apapun yang bersifat mutlak kepada partai pendukungnya. Termasuk kepada PDIP sebagai partai yang memiliki jumlah kursi terbanyak di DPRD DKI.
Sosok Ahok yang sulit dikendalikan ini bisa terlihat dari rekam jejaknya bersama sejumlah partai. Ahok, dikenal bukan orang yang loyal terhadap satu partai. Ia pernah bergabung dalam Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Golkar, dan Gerindra.
Dengan ketiganya Ahok berpisah. Namun yang paling disorot oleh publik adalah perpisahannya dengan Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto pada September dua tahun lalu.
Saat itu, publik terbelah antara yang mendukung keputusan Ahok keluar dari gerindra, dengan mereka yang mengecam keputusan tersebut. Bagi kelompok yang mengecam, Ahok dipandang telah ‘mengkhianati’ Prabowo yang total mendukungnya saat Pilkada Jakarta 2012.
Ketidakterikatan Ahok ini kembali ia perlihatkan ketika memilih berhadap-hadapan dengan hampir seluruh fraksi di DPRD DKI dalam sejumlah kasus. Yang paling terkenal tentu saja saat Ahok bersengketa dengan anggota DPRD terkait penetapan APBD 2015.
Dalam kasus itu, ia berhadapan hampir seluruh fraksi, termasuk fraksi PDIP yang notabene merupakan partai pendukungnya pada Pilkada DKI Jakarta 2012.
Dari rekam jejak tersebut, Ahok jelas ibarat pedang bermata dua bagi partai-partai pendukungnya, terutama PDIP. Ketidakmampuan mengendalikan Ahok, jika ia terpilih nanti, akan membuat kemenangan PDIP di Jakarta menjadi sia-sia.
Terlebih jika PDIP tak mampu mengekang kebijakan penggusuran yang kerap dilakukan oleh Ahok. Ini jelas akan mengikis kepercayaan PDIP di mata warga Jakarta, terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang sekaligus merupakan basis suara partai.
Ketidakpercayaan tersebut bisa saja meluas ke daerah lain di luar Jakarta. Yang pada akhirnya bisa berdampak negatif pada perolehan suara PDIP di Pemilu Presiden 2019.
Dengan segala risiko itu, keputusan PDI Perjuangan memilih Ahok pada akhirnya hanya akan menempatkan partai dalam sebuah situasi ketidakpastian yang panjang. Hal yang sebenarnya bisa dihindari jika PDIP memilih Tri Rismaharini sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta.
(obs)