Jakarta, CNN Indonesia -- M. Yutharyani mengisahkan ulang tragedi 30 September 1965 dari ruangan kerjanya di Kompleks Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Cerita muram keluar dari bibirnya di tengah gelap langit dan rintik hujan di area “sakral” itu.
“Saat penculikan, yang dibunuh di sini (Lubang Buaya) empat orang. Tiga lainnya langsung dibunuh di kediaman mereka, yakni Ahmad Yani, MT Haryono, DI Panjaitan. Sementara Pak Nasution berhasil meloloskan diri,” kata dia kepada
CNNIndonesia.com, awal September.
Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Haryono, dan Brigadir Jenderal DI Panjaitan ialah petinggi TNI AD. Yani misalnya menjabat Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos meski justru disebut menjadi target utama, saat itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat, melanjutkan ceritanya, meniti lorong waktu menuju masa silam, lebih dari setengah abad lalu.
“Empat lainnya yang masih hidup, termasuk ajudan Nasution yang akhirnya jadi korban, Andreas Tandean, dibawa ke rumah penyiksaan. Mereka yang sudah meninggal juga dibawa ke situ.”
Rumah penyiksaan yang dimaksud Yutharyani itu merupakan kediaman salah seorang warga Desa Lubang Buaya. Rumah itu kini berada dalam Kompleks Monumen Pancasila Sakti. Tak seperti sekarang, dulu Lubang Buaya ialah hutan karet yang sepi penduduk.
“Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.”
Dewan Jenderal ialah sebutan untuk kelompok jenderal yang diisukan hendak melakukan makar terhadap Presiden Sukarno dan pemerintah Republik Indonesia.
“Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S. Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan melakukan kudeta,” kata Yutharyani.
Pada titik itulah, menurut Yutharyani, penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. Mereka semua –Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean– akhirnya tewas dibunuh.
“Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras.”
Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
“Sumur itu dalamnya 12 meter, lebarnya 75 sentimeter. Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat.”
Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang Buaya itu, hari telah berganti. Satu Oktober 1965.
Sepandai-pandainya sesuatu disembunyikan, kata Yutharyani, pasti ketahuan juga. Akhirnya, ujar dia, sumur dapat ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat diangkat.
Jasad divisum dan diautopsi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Tanggal 4 sore, jenazah dibawa ke Markas Besar AD untuk disemayamkan semalam, dan akhirnya dimakamkan dengan upacara kenegaraan 5 Oktober, tepat pada peringatan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata Republik Inndonesia.
Yutharyani menceritakan itu semua dengan lancar, seperti baru terjadi sehari sebelumnya. Angkatan Darat, kata dia, merasa hancur dengan terbunuhnya para jenderal terbaik mereka.
Menjelma KeramatSejak 30 September 1965, Lubang Buaya berubah wujud. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto “menyulapnya” menjadi kompleks memorial megah.
Dua tahun setelah Gerakan 30 September, 1967, Soeharto membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga. Enam tahun kemudian, 1973, di atas lahan itu diresmikan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.
Kompleks tersebut berisi antara lain Monumen Pancasila Sakti, sumur maut, Museum Paseban, dan –yang paling mengerikan– Museum Pengkhianatan PKI yang berisi 40 lebih diorama tentang sepak terjang PKI sejak Indonesia merdeka, termasuk kekejaman mereka terhadap para jenderal.
John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah University of British Columbia dalam bukunya
Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mengistilahkan Lubang Buaya kini sebagai “tanah keramat.”
“Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung perunggu para perwira yang tewas. Semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan patung para perwira, ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap mengembang,” demikian John Roosa memaparkan dalam bukunya.
 Monumen Pancasila Sakti, salah satu titik sakral di Lubang Buaya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Lubang Buaya kini bukan lagi hutan karet. Ini lokasi penting. Tiap 1 Oktober, Presiden Indonesia, kecuali Megawati Soekarnoputri pada 2002 dan 2004, selalu memimpin upacara Hari Kesaktian Pancasila di lapangan Monumen Pancasila Sakti yang terletak sekitar 45 meter dari sumur Lubang Buaya.
“Nama daerah ini, sebelum kejadian 30 September 1965, memang sudah Lubang Buaya,” kata Yutharyani.
Menurut cerita turun-temurun warga setempat, ujarnya, kampung di daerah itu terbentuk ketika banyak masyarakat asal Cirebon yang berdiam di sana.
“Dulu di daerah ini, banyak warga tinggal di pinggir-pinggir sungai. Saat sungai itu banjir, mereka pakai getek (rakit). Nah saat perahu didayung, ada yang enggak bisa bergerak. Setelah air surut, ternyata dayung di perahu itu dimakan oleh buaya lapar.”
“Jadi orang lalu bilang, ‘Jangan ke sana, ada buaya. Ada lubang buaya. Lama-kelamaan penduduk di sini menamakan daerahnya Lubang Buaya,” ujar Yutharyani.
Legenda itu kemudian ternoda sejak 30 September 1965. Lubang Buaya juga disebut menjadi pusat pelatihan Partai Komunis Indonesia.
Lubang Buaya, menurut John Roosa, ditanamkan dalam kesadaran publik sebagai tempat PKI melakukan kejahatan besar.
Jika menyimak kisah Yutharyani, yang juga termuat dalam buku
Bahaya Laten Komunisme di Indonesia terbitan Pusat Sejarah Sejarah dan Tradisi Markas Besar ABRI, juga film
Pengkhianatan G30S/PKI berdurasi empat jam yang disiarkan TVRI tiap tahun pada malam 30 September sepanjang Orde Baru Berkuasa, dosa-dosa PKI memang dipampang jelas.
Kebiadaban peristiwa di Lubang Buaya yang diawetkan dalam teks, film, museum, hingga monumen, membentuk ingatan publik yang kokoh atas kekejaman PKI, tak peduli siapa sesungguhnya aktor utama yang menjadi otak malam jahanam itu.
Dari Lubang Buaya, salah satu kesatuan dalam Gerakan 30 September bergerak. Pasukan dibagi menjadi tujuh kelompok, dan tiap kelompok mendapat perintah untuk menculik tujuh jenderal yang diduga sebagai anggota Dewan Jenderal, untuk kemudian dibawa ke Lubang Buaya.
Benar atau tidaknya eksistensi Dewan Jenderal tak diketahui jelas hingga saat ini, sama seperti G30S yang memiliki sejarah gelap, dengan dalang yang tak pernah terungkap.
Lubang Buaya, sebagai saksi bisu tragedi sehari yang berdampak pada pembantaian besar terhadap para pendukung gerakan kiri di Indonesia, masih menyimpan misteri yang nyaris serupa seperti 51 tahun lalu.
Cerita DustaPaparan sejarah versi Orde Baru seperti yang diceritakan Yutharyani itu tak ditelan mentah-mentah oleh sejumlah kalangan. Setelah Orde Baru berakhir, sejumlah ketidakcocokkan antarinformasi makin banyak dibeberkan.
Sejumlah laporan yang diberitakan oleh
Berita Yudha dan
Angkatan Bersenjata, dua harian di bawah militer Indonesia, misalnya dibantah oleh Prof. Dr. Arif Budianto, ahli forensik Universitas Indonesia yang tergabung dalam tim autopsi jenderal korban G30S.
“Kami periksa penis-penis para korban dengan teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja sama sekali tidak ada. Kami periksa benar itu, dan saya berani berkata itu benar. Itu faktanya,” kata Arif kepada
Majalah D&R edisi 3 Oktober 1998 seperti dikutip dari buku
Siapa Dalang G30S?“Soal mata yang dicongkel, memang kondisi mayat ada yag bola matanya copot, tapi itu karena sudah lebih dari tiga hari terendam, bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa dengan saksama tepi mata dan tulang-tulang sekitar kelopak mata, apakah ada tulang yang tergores. Ternyata tidak ditemukan,” ujar Arif.
Meski begitu, kata dia, mayat para jenderal korban G30S memang disiksa dan ditembaki. Namun laporan tentang penis dipotong dan bola mata dicungkil adalah berlebihan.
Pemberitaan media-media kala itu, menurut Arif, membuat tim autopsi ketakutan karena mereka tak menemukan fakta yang sama.
Kisah-kisah menyeramkan dari Lubang Buaya memang amat mengakar di benak masyarakat Indonesia sepanjang Orde Baru berkuasa.
Para perwira korban G30S, sebelum dibunuh, disebut dikelilingi kader Gerwani yang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi. Para perempuan itu juga disebut menusuk-nusukkan pisau ke tubuh korban, dan menyilet-nyilet alat vital mereka.
 Relief pada Monumen Pancasila Sakti yang memperlihatkan perempuan-perempuan menari saat para jenderal Angkatan Darat dibunuh di Lubang Buaya. (John Roosa/Buku Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto) |
Aksi yang menurut Orde Baru dilakukan Gerwani di Lubang Buaya itu terpampang dalam relief di Monumen Pancasila Sakti. Pada salah satu relief, terlihat seorang perempuan menyaksikan rekan prianya yang sedang memasukkan tubuh seorang jenderal ke dalam sumur.
Sementara seorang perempuan lain pada relief itu tampak sedang menari dengan untaian kembang mengalungi lehernya.
Koran-koran pada masa itu memberitakan sejumlah perempuan Gerwani melakukan ritual Harum Bunga, yakni menari-nari telanjang dan pesta seks. Narasi ini juga diketengahkan lewat film
Pengkhianatan G30S/PKI yang diulang setiap tahun.
Yutharyani mengatakan, tak benar ada tarian telanjang di Lubang Buaya.
“Sebenarnya enggak ada tari telanjang. Itu ibarat bumbu cerita. Tapi memang nari-nari sambil memukul orang. Orang kesakitan, dia nyanyi-nyanyi Genjer-genjer, lagu rakyat Banyuwangi yang digubah PKI,” kata dia.
John Roosa dalam bukunya mengatakan, “Penuturan rezim Soeharto –bahwa ketujuh perwira disiksa dan disayat-sayat oleh massa pendukung PKI yang kegirangan, sementara perempuan-perempuan Gerwani menari-nari telanjang– merupakan rekayasa absurd bikinan para ahli perang urat syaraf.”
Berdasarkan penelitian lebih lanjut, sejumlah anggota Gerwani yang saat itu berada di Lubang Buaya adalah untuk mengikuti latihan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) –bagian dari kebijakan konfrontasi Malaysia oleh pemerintah Sukarno.
Profesor dan sosiolog Universitas Amsterdam, Saskia Eleonora Wieringa, dalam bukunya
Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, mengatakan Lubang Buaya sejak Juli 1965 menjadi lokasi latihan Ganyang Malaysia bagi sukarelawan Dwikora.
Selain kader Gerwani, mereka yang mengikuti latihan Dwikora di Lubang Buaya pada 1965 ialah anggota PKI, Pemuda Rakyat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Buruh Tani Indonesia. Jika G30S tak pecah, para pemuda Nahdlatul Ulama juga diundang latihan di Lubang Buaya pada Oktober 1965.
Banjir DarahPembentukan memori kolektif atas kekejaman PKI dan berbagai organisasi yang berafiliasi dengannya, serta pembangunan monumen dan museum, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, ialah upaya Soeharto untuk meneguhkan rezimnya.
“Soeharto didukung oleh orang-orang yang paham betul dengan nilai sejarah. Sejarah digunakan untuk memberinya legitimasi kekuasaan,” kata Asvi.
 Mayor Jenderal Soeharto menghadiri pemakaman jenderal yang tewas dalam peristiwa Gerakan 30 September. (Wikimedia Commons) |
G30S –yang mengawali keruntuhan Orde Lama dan kebangkitan Orde Baru– beserta sejumlah dusta yang mengikutinya, juga tak dapat dilepaskan dari politik global pada masa itu, ketika Amerika Serikat terlibat perang dingin dengan Uni Soviet.
John Roosa dalam bukunya menceritakan, Duta Besar AS untuk Indonesia pada waktu itu, Marshall Green, mengatakan bahwa G30S adalah salah satu momen paling berbahaya bagi AS semasa perang dingin. Jika G30S berhasil, menurutnya, Indonesia dapat berubah menjadi negara komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet.
“Bangsa terbesar keempat di dunia ini (Indonesia) akan menjadi komunis, dan memang nyaris demikian,” ujar Green pada 1997.
Keberhasilan Soeharto menumpas komunis, sekaligus menandai arah baru Indonesia dalam kancah perpolitikan global. Rezim Sukarno yang –dalam prinsip antikolonialisme dan antiimperialismenya– condong ke Uni Soviet, ambruk dan berganti dengan pemerintahan Soeharto yang –dalam politik luar negeri bebas aktifnya– amat bersahabat dengan AS.
Untuk mengamankan cengkeramannya, Soeharto memberangus komunis di Indonesia hingga ke akar-akarnya, menyebabkan banjir darah selama periode 1965-1966. Mereka yang tak bersalah pun ikut menjadi korban.
Juli lalu, Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan Periode 1965 di Indonesia (
International People’s Tribunal, IPT 1965) memutus Indonesia bertanggung jawab atas 10 kejahatan hak asasi manusia sepanjang 1965-1966, termasuk genosida.
Indonesia disebut menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu, yakni anggota, pengikut, dan simpatisan PKI, serta loyalis Sukarno. Sedikitnya setengah sampai satu juta orang tewas dalam rentang waktu setahun pasca-G30S.
Profesor politik University of Papua New Guinea asal Australia, Rex Mortimer, menggambarkan nasib yang menimpa PKI dengan tepat pada pembuka bukunya,
Indonesian Communism Under Sukarno Ideology and Politics, 1959-1965.PKI yang berkembang pesat dengan kecepatan menakjubkan, ujar Mortimer, selalu kandas oleh skandal kekerasan di tiap periode kebangkitannya.
Lubang Buaya, dengan Museum Pengkhianatan PKI di atasnya dan sejarah ciptaan Orde Baru menaungi seluruh negeri, menjadi dentang lonceng kematian partai itu.
Seperti dikatakan Mortimer, sejarah komunisme di Indonesia seolah ditakdirkan konsisten dengan tragedi.
(agk/yul)