Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Kelautan dan Perikanan menggelar program pengampunan atau amnesti kepada nelayan yang melakukan
markdown atau memalsukan/mengecilkan ukuran dan bobot kapal. Mereka diberi kesempatan dan fasilitas untuk mengukur kapal mereka.
Program
markdown amnesty ini hingga September tahun ini telah diikuti oleh 2.050 kapal di seluruh Indonesia. Jumlah itu, menurut KKP, menunjukkan antusiasme nelayan.
“Mereka menyambut program ini, karena pengukuran ini juga untuk keselamatan mereka di laut lepas,” kata Saifuddin, Direktur Pengendalian Penangkapan Ikan KKP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Markdown amnesty bertujuan untuk menertibkan dan mengendalikan usaha perikanan, yang diharapkan berimbas pada peningkatan Peneriman Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dari 2.000 kapal lebih di seluruh Indonesia yang menjadi peserta
markdown amnesty, 300 kapal di pesisir Jakarta, yakni Muara Angke, misal telah didaftarkan nelayan dan pengusaha perikanan untuk mengikuti program tersebut.
Jumlah 300 itu belum semua, sebab sedikitnya terdapat 1.600 kapal di Muara Angke.
“Ini bukan karena nelayan enggan melakukan
markdown amnesty, tapi karena banyak kapal mereka yang masih melaut,” ujar Saifuddin.
Hampir semua kapal di Muara Angke yang mengikuti
markdown amnesty berukuran lebih besar dari bobot yang semula terdaftar.
“Misalnya semula bobot kapal (tercatat) hanya 30 Gross Ton, pas diukur lagi jadi 75 GT. Banyak yang seperti itu,” kata Saifuddin.
Bobot dan ukuran kapal yang melebihi catatan saat didaftarkan, diakui oleh pemilik kapal di Muara Angke. Salah satunya ialah Nunung yang mendaftarkan 59 kapalnya untuk mengikuti
markdown amnesty.Kapal-kapal milik perempuan 47 tahun itu semula tercatat hanya berbobot 74 GT, namun setelah diukur ulang, banyak kapal itu yang berukuran di atas 100 GT.
Peningkatan bobot tersebut, ujar Nunung, terjadi karena penambahan jumlah ruangan untuk anak buah kapal (ABK) yang semula hanya berjumlah 8 menjadi 14 ruangan.
Penggunaan alat pendingin pun menambah bobot kapal.
“Tadinya pakai es curah, tapi kan sekarang sudah modern. Jadi kami tambahkan alat pendingin. Jadi ya bobotnya nambah,” kata Nunung.
Berdasarkan data yang dihimpun
CNNIndonesia.com, hingga pekan lalu (6/10) verifikasi
markdown amnesty di Pelabuhan Perikanan Muara Angke diikuti 331 kapal. Dari jumlah itu, 12 di antaranya telah melakukan pengukuran ulang.
Terkait
markdown amnesty itu, KKP menyiapkan 47 buku kapal yang akan segera dicetak, 75 surat izin usaha perikanan (SIUP), dan 39 surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang telah dicetak.
Menurut Saifuddin, para nelayan bebas melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut lepas. Mereka juga memiliki tempat berlabuh yang ditentukan dalam surat izin yang berlaku untuk satu tahun.
“Kami atur wilayah tangkapannya. Jadi enggak ada istilah kehabisan ikan atau harus mengantre lama di pelabuhan,” ujar Saifuddin.
Namun Nunung menyayangkan masa berlaku surat izin yang hanya satu tahun. Padahal nelayan bisa melaut hingga kurun waktu delapan bulan untuk sekali berlayar.
“Kalau tenggatnya cuma satu tahun, paling cuma dipakai untuk satu kali berlayar. Paling banyak dua kali. Padahal ngurus izinnya kan enggak sebentar. Makanya ini agak susah juga untuk kami,” kata Nunung.
Praktik
markdown banyak dilakukan pemilik kapal supaya mereka bisa membayar pajak Pungutan Hasil Perikanan (PHP) lebih rendah, serta mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pemerintah.
KKP menduga terdapat 5.000 kapal Indonesia yang melakukan
markdown dengan menurunkan bobot kapal menjadi di bawah 30 GT.
(agk/asa)