Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) resmi diberlakukan hari ini, Senin (28/11). Sejumlah poin krusial sempat menjadi sorotan lantaran substansi dari pasal tertentu yang termaktub dalam UU ITE dianggap sebagai 'pasal karet' alias tidak jelas tolok ukurnya.
Salah satu dari sekian banyak poin regulasi yang menjadi sorotan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses" yang termuat dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE memang tidak diubah. Namun ada penambahan penjelasan bahwa pasal tersebut dikategorikan sebagai delik aduan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Unsur pidana pada pasal tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah sebagaimana yang selama ini telah diatur dalam KUHP.
Sejumlah kalangan menyikapi revisi UU ITE tersebut secara lebih kritis. Selain dianggap membatasi kebebasan berdemokrasi, aturan yang mengatur soal pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE juga dianggap berbenturan dengan regulasi yang sudah diatur dalam KUHP.
Regulasi soal pencemaran nama baik dalam UU ITE dianggap perlu diatur secara merinci dan tidak bersifat karet di KUHP agar tidak menimbulkan multitafsir yang berpotensi penyalahgunaan undang-undang untuk mengekang kebebasan berekspresi.
"Jangan sampai UU ITE pasal 27 ayat (3) ini menambah deretan korban lagi ke depannya," ujar anggota DPR dari Fraksi PKS beberapa waktu silam.
Selain soal pencemaran nama baik, Sukamta juga menyoroti potensi pasal karet dalam Pasal 31 UU ITE yang mengatur tentang penyadapan dan intersepsi. Sukamta menilai aturan yang menegaskan bahwa Penyadapan diatur dengan Peraturan Pemerintah, berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Tak dimungkiri, baik pemerintah maupun parlemen menyadari fleksibilitas dari sejumlah pasal karet UU ITE. Namun penyelesaian ditempuh dengan menitikberatkan pada pengurangan hukuman pidana.
Untuk kasus pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 27, hukuman pidana mendapat penguranan hukuman dari enam tahun menjadi empat tahun penjara. Kemudian dalam pasal 29 tentang pengancaman dengan kekerasan, semula berlaku hukuman 11 tahun, kini hanya empat tahun.
Sejumlah aturan yang termaktub dalam UU ITE dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Hal itu menjadi kekhawatiran publik lantaran arus komunikasi dan penyebaran informasi saat ini terbilang masif dengan adanya jaringan virtual internet, termasuk di dalamnya adalah media sosial.
Southeast Asia Freedom of Expression Network tahun lalu mencatat, 118 pengguna internet yang terjerat UU ITE terhitung sejak 2008 sampai 2015, 90 persen di antaranya terlibat kasus defarmasi atau pencemaran nama baik.
Damar Juniarto selaku Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network menyoroti persoalan dari kebebasan berekspresi berakar dari pasal 27 ayat 3.
"UU ini tidak bisa mengantar keadilan, tapi justru membias ke arah-arah berbeda dari pasal yang seharusnya," ujar Damar.
Dari sekian orang yang pernah berurusan dengan UU ITE, Buni Yani adalah salah satu contoh pengguna media sosial paling anyar yang kena jeratan UU ITE. Dia menjadi sorotan khalayak luas karena hasil penyebaran informasi yang dia unggah di media sosial berujung pada kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Gubernur nonaktif DKI Jakarta Ahok Tjahaja Purnama, alias Ahok.
Video yang diunggah Buni Yani memuat pernyataan Ahok menyitir Surat Al Maidah ayat 51. Setelah Ahok jadi tersangka penista agama, kasus pun menjadi blunder bagi Buni Yani. Dia kena jeratan sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa rasa kebencian berdasarkan SARA.
Buni Yani dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi menyesatkan.
Dia pun kini berhadapan dengan ancaman pidana. Polisi menilai, terlepas dari konten video yang diunggah, Buni Yani telah menyebarkan kebencian berdasarkan SARA dari status Facebook yang menyertai unggahannya.