Jakarta, CNN Indonesia -- 2016 bukan tahun yang mudah bagi kelompok marginal dan gerakan prodemokrasi di Indonesia. Di sepanjang tahun ini, suara dan ekspresi mereka kerap dibungkam. Wajah kebebasan berekspresi terlihat begitu muram.
Sebuah organisasi nonpemerintah, Safenet, dalam penelitiannya menyebut ada 50 peristiwa pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat di Indonesia yang terjadi sejak Januari 2015 sampai Mei 2016.
Sementara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat di sepanjang 2016 ada 146 pengaduan dan 70.116 pencari keadilan yang terkait dengan kasus sipil dan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maraknya pemberangusan hak sipil dan politik warga pada tahun ini juga tercermin dalam hasil survei SETARA Institute mengenai Indeks Kinerja HAM Pemerintahan Joko Widodo.
Dari delapan variabel penilaian Indeks Kinerja HAM Pemerintah, variabel kebebasan berekspresi dan berserikat mengalami penurunan dari 2,18 poin pada 2015, menjadi 2,1 poin pada tahun ini.
Survei yang digelar pada 7 November hingga 5 Desember itu juga mencatat penurunan pada indikator kebebasan beragama, dari 2,57 pada tahun lalu menjadi 2,47 di tahun ini.
Dalam surveinya, Setara Institute menekankan bahwa penurunan skor pada variabel kebebasan berekspresi dan berserikat dipengaruhi terutama oleh meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi melalui praktik kriminalisasi terhadap aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis.
SETARA Institute menetapkan Papua sebagai daerah darurat kebebasan berekspresi. Di provinsi itu 29 orang mengalami kriminalisasi, 2.397 orang ditangkap saat berunjuk rasa, 13 orang dibunuh, 68 orang ditembak, serta 2 peristiwa percobaan pembunuhan terjadi sepanjang 2016.
Tetapi pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi tak hanya terjadi di Papua. Pembungkaman itu juga berlangsung di depan mata kekuasaan. Di Jakarta, sejumlah kasus pelarangan acara terjadi sepanjang 2016.
Publik masih bisa mengingat pelarangan acara Festival Belok Kiri yang sedianya digelar di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, pada 27 Februari lalu.
Bulan berikutnya, pelarangan kembali terjadi, kali ini terhadap acara pemutaran film 'Pulau Buru Tanah Air Beta' yang sedianya dipertontonkan di Goethe Institute, Jalan Diponegoro, pada Rabu (16/3).
Kemudian pada Agustus, sebuah lapak buku gratis yang digelar secara kolektif oleh komunitas Perpustakaan Jalanan di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, dibubarkan.
Apa yang terjadi di Papua, Jakarta, Bandung, hanya segelintir dari berbagai pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terjadi di sepanjang 2016. Tindakan serupa juga terjadi di sejumlah kota seperti Yogyakarta, Solo, Bukittinggi, Surabaya.
Andil NegaraLantas apa yang dilakukan oleh negara dalam menghadapi aksi-aksi pengekangan terhadap hak asasi ini? Tidak banyak.
Alih-alih memproses hukum pelaku pembungkaman, negara justru turut aktif melakukan pemberangusan terhadap kebebasan warga dalam berekspresi dan berpendapat.
Data dari Safenet menyatakan, dari 50 peristiwa pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat di Indonesia yang terjadi sejak Januari 2015 sampai Mei 2016, kepolisian tercatat sebagai pelaku tertinggi yang melanggar hak berkumpul dan berpendapat dengan kontribusi 62 persen.
Selain polisi, Safenet juga mencatat TNI sebagai pelaku pelanggaran, serta sejumlah ormas sipil dan kepemudaan.
"Pelaku bergerak secara sistematis dan terkoordinasi dengan pihak lintas organisasi. Dalam kasus-kasus tertentu, aparat militer adalah pelaku tunggal dan kerap menjadi koordinator," demikian hasil laporan Safenet.
Safenet dalam laporannya melanjutkan, dalih yang kerap dipakai polisi adalah menjadi pelindung bagi penyelenggara acara dari teror ormas pengusung kekerasan.
Jelas itu bukan dalih yang cukup cerdas yang bisa digunakan oleh aparat keamanan. Sebab, itu sama artinya dengan menutup ruang bagi warga untuk menggunakan haknya yang dijamin oleh konstitusi, sambil membuka ruang kepada ormas pengusung kekerasan yang seharusnya diamankan.
Yang lebih mengecewakan adalah sikap diam eksekutif, termasuk Presiden Joko Widodo atas aksi-aksi pembungkaman itu. Praktis tak banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin hak-hak asasi warganya dalam berekspresi dan berpendapat di muka umum.
Jokowi bahkan diam saat ratusan warga Papua ditangkap hanya karena berdemonstrasi menolak peristiwa Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), pada awal pekan lalu.
Berkaca dari hal di atas, Jakarta bisa dibilang telah gagal menjamin hak asasi warga dalam menyampaikan pendapat dan mengekspresikan sikap politiknya.
Ironisnya, kegagalan itu terjadi di era Joko Widodo; Presiden yang dianggap 'terbebas' dari dosa-dosa HAM masa lalu, Presiden yang diharapkan mampu mempraktikkan demokrasi yang lebih substansial, dan Presiden yang kala Pemilu 2014 lalu banyak didukung oleh kalangan aktivis HAM dan prodemokrasi.
Tetapi kegagalan negara tidak untuk diratapi. Sebaliknya, momen ini justru harus dijadikan sebagai bahan evaluasi atas kerja-kerja advokasi, pengawasan, dan kerja politik akar rumput yang selama ini dilakukan oleh berbagai kelompok gerakan dan aktivis prodemokrasi.
Tanpa mengurangi berbagai pencapaian yang telah diraih sejak kejatuhan rezim Orde Baru, harus diakui, apa yang telah dicapai saat ini masih belum signifikan dalam mewujudkan demokrasi yang lebih substansial. Yang mampu melibatkan warga dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kehidupan mereka.
Merebaknya pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat di sepanjang 2016, hanya satu dari sekian kasus yang mengindikasikan belum maksimalnya kerja politik gerakan dan aktivis prodemokrasi pasca Orde Baru.
Indikasi lain tercermin dari merebaknya konflik agraria dan kriminalisasi petani, serta meningkatnya jurang ketimpangan ekonomi.
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sepanjang 2016 terjadi 450 konflik lahan. Dari jumlah itu, 134 petani dan aktivis dikriminalisasi, 9 orang meninggal dunia dan 26 orang dianiaya.
Di bidang ekonomi, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo Chaves mengingatkan pada 8 Desember lalu mengenai ketimpangan yang semakin melebar dalam 15 tahun terakhir.
Peningkatan ketimpangan itu, kata Rodrigo, tercermin dari rasio gini yang diukur Bank Dunia, yang meningkat dari 30 poin pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013 hingga saat ini.
"Kalangan mampu maju jauh lebih cepat dari mayoritas masyarakat. Indonesia berisiko mengalami pertumbuhan yang lebih lambat serta konflik sosial apabila terlalu banyak masyarakat Indonesia tertinggal. Potensi mereka yang hilang juga merupakan hilangnya potensi Indonesia," kata Rodrigo.
Mencari Jalan BaruMasyarakat sipil tak mungkin menyerahkan kerja-kerja ekonomi, sosial, dan politik sepenuhnya kepada negara. Di sisi lain, merasa nyaman dengan strategi yang dilakukan selama ini juga bukan pilihan politik yang bijak.
Bagaimanapun, dibutuhkan sebuah otokritik, dan evaluasi menyeluruh atas kerja-kerja yang telah dilakukan oleh aktivis dan kelompok prodemokrasi di Indonesia.
Jika, sampai tahun 2016, kerja politik masih dilakukan dari pinggir kekuasaan, mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan jalur lain untuk ditempuh pada 2017 nanti. Jalur baru yang bisa membawa gerakan dan aktivis prodemokrasi bertarung di jantung kekuasaan, di panggung politik formal.
Jalur itu tak mungkin ditempuh dengan cara-cara individual seperti yang dilakukan oleh sejumlah aktivis yang kini berteduh di bawah payung kekuasaan eksekutif. Jalur itu harus ditempuh secara kolektif, dengan bermodal jejaring, konstituen, dan pengalaman politik yang telah didapatkan selama ini.
Manifestasinya mungkin dengan membentuk partai politik baru, yang dijalankan oleh aktivis dan gerakan prodemokrasi yang selama ini hanya berjuang dari pinggir kekuasaan.
(obs)