Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pembangunan DKI Jakarta sejak era 1970-an sampai sekarang, telah membawa perubahan besar di daratan sampai pesisir dan laut. Pada data satelit NASA terlihat, ada konversi vegetasi besar-besaran sehingga menjadi daerah perkotaan sebesar 80 persen dalam kurun 1976-2004.
Bahkan perubahan lingkungan juga terjadi pada daerah aliran sungai, dari hulu ke hilir, khususnya sedimentasi yang tinggi di muara dan pesisir Teluk Jakarta. Akibatnya, luas tutupan karang di Kepulauan Seribu berkurang dari 70-80 persen pada 1970 menjadi 15-30 persen pada 1995, sebagaimana laporan UNESCO tahun 2006.
Dampak lain dari permukiman dan industri, adalah pencemaran logam berat yang tinggi di Teluk Jakarta yang masuk melalui sungai-sungai kemudian menumpuk di sedimen dasar. Limbah organik yang berasal dari rumah tangga dan industri berperan besar terhadap kondisi
hyper-eutrophic--peningkatan kandungan fosfor dan nitrogen, di pesisir Teluk Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada suatu kondisi yang membuat oksigen sangat rendah akibat aktivitas bakteri dalam menguraikan limbah organik. Persoalan inlah yang mengakibatkan hampir setiap tahun selalu terjadi kematian ikan dan mengambang ke permukaan. Sehingga jelas bahwa Teluk Jakarta telah tercemar berat oleh sedimen, logam berat dan bahan organik. Kondisi ini umumnya terjadi di perairan muara atau dekat pesisir. Perairan bagian tengah masih relatif baik untuk aktivitas penangkapan ikan.
Hasil riset terbaru (Baum et al., 2016) di Marine Pollution Bulletin menyebutkan, walaupun tercemar berat namun Teluk Jakarta mampu menghidupkan jutaan masyarakat. Memang sumber daya kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta terus menurun karena pencemaran dan penangkapan yang berlebih akibat semakin banyak nelayan.
BPS (2012) menyebutkan, populasi nelayan bertambah dalam waktu lima tahun sebesar 30 persen. Dampak 17 Pulau Buatan Dalam kondisi tercemar berat di pesisir dan muara, muncul ide pembangunan 17 pulau buatan. Apakah hal ini menjawab persoalan pencemaran?
Hasil kajian
Environmental Support Program, kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan DANIDA pada 2011 memperlihatkan, hasil simulasi sebelum dan sesudah ada pulau-pulau buatan (secara keseluruhan 17 pulau, bukan parsial per pulau).
Hasilnya adalah terjadi perlambatan kecepatan arus sehingga waktu cuci alami di sekitar pulau-pulau buatan akan bertambah. Akibatnya, proses pengenceran sedimen, logam berat dan bahan organik akan semakin lama.
Salah satu dampak misalnya, sedimentasi akan meningkat menjadi 50-60 cm per tahun di pesisir dan muara sehingga berpotensi terjadi penyumbatan dan meningkatkan banjir di daratan. Keberadaan 17 pulau buatan akan memerangkap material apa saja yang masuk dari sungai-sungai. Hal inilah yang membedakan Teluk Jakarta dengan proyek-proyek pulau buatan di negara lain.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah ingin menggabungkan dengan rencana pembangunan tanggul luar besar atau dikenal dengan
Giant Sea Wall. sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk
National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Bagaimanakah dampak gabungan dari keberadaan pulau buatan dan tanggul luar ini? Secara ringkas, rencana pembangunan NCICD dibagi menjadi tiga fase, yaitu Fase A yang meliputi pembangunan tanggul di pantai untuk perlindungan banjir rob. Fase B, fokus pada pembangunan tanggul laut luar bagian barat dan waduk besar. Fase C melanjutkan pembangunan tanggul luar sebelah timur.
Hasil kajian terbaru van der Wulp
et al. (2016) yang dipublikasikan pada
Marine Pollution Bulletin memperlihatkan, justru keberadaan waduk besar (Fase B dan C) dapat menjadi “comberan” besar jika tidak ada infrastruktur pengolahan air limbah perkotaan. Hal ini sejalan dengan kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelumnya. Bagaimana dengan pembangunan tanggul A, apakah ini relevan?
Untuk jangka pendek iya, khususnya untuk mengantisipasi penurunan muka tanah di lokasi-lokasi yang ekstrim. Sesuai target rencana induk NCICD, tanggul A diharapkan selesai pada 2017.
Selain itu, ada rencana jangka pendek yang harus dilakukan, yaitu meliputi perbaikan drainase perkotaan dan upaya memperlambat penurunan muka tanah. Pengalaman beberapa kota seperti Bangkok, Houston, Mexico City, Osaka, San Jose, Shanghai, Tokyo, and Venice, menyebutkan, penyebab utama penurunan muka tanah di wilayah mereka adalah akibat pengambilan air tanah saja sedangkan pengaruh lainnya bersifat minor.
Hal ini dipublikasikan oleh Holzer and Johnson (1985) di GeoJournal. Penurunan muka tanah di kota-kota tersebut tidak merata, sebagaimana halnya Jakarta. Beberapa kajian di Jakarta memperlihatkan, angka penurunan muka tanah yang berbeda-beda.
Walaupun ada yang ekstrim mencapai 25 cm per tahun, namun secara umum berkisar 3 cm per tahun. Untuk itu, perlu kajian yang detail dengan titik sampel yang lebih banyak. Bagaimana pengalaman pada kota-kota di atas?
Langkah yang mereka ambil adalah mengontrol ketat pengambilan air tanah serta membangun tanggul di pesisir. Malah Tokyo memperlihatkan bahwa setelah dihentikan pengambilan air tanah, penurunan muka tanah mereka berhenti. Jika pemerintah fokus pada persoalan penurunan muka tanah dan penghentian ekstraksi air tanah, maka rencana tanggul besar fase B dan C menjadi tidak relevan dan biaya sangat mahal.
Maksud pembangunan pulau-pulau buatan untuk menunjang biaya pembangunan tanggul besar juga tidak diperlukan, karena memang tidak layak secara lingkungan. Akhirnya, Teluk Jakarta lebih membutuhkan restorasi setelah pembangunan yang intens sejak 1970-an sampai sekarang (sesuai mandat UU 27 Tahun 2007).
Setelah restorasi, besar kemungkinan akan muncul ekonomi baru yang tidak kalah dengan ekonomi “reklamasi”. Ini seperti penangkapan ikan, budidaya, wisata, nilai ekosistem, nilai sejarah, dan sebagainya. Nilai ekonomi pasca restorasi lebih terjamin keberlanjutannya.
(asa)