MK Didorong Batalkan Pasal Penggusuran

CNN Indonesia
Jumat, 07 Apr 2017 16:17 WIB
Empat pasal dalam UU Nomor 51 Tahun 1960 diduga sering digunakan pemerintah untuk melakukan penggusuran secara paksa.
Warga Manggarai yang menolak penggusuran. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komunitas korban penggusuran mendorong Mahkamah Konstitusi segera membatalkan empat pasal dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.

Empat pasal tersebut diduga sering digunakan pemerintah untuk melakukan penggusuran secara paksa.

“Ada empat pasal yang dipermasalahkan, itu ada di pasal 2, pasal 3, pasal 4, dan pasal 6 karena memang bertentangan dengan UUD 1945," kata Alldo Fellix Januardy dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, di Gedung LBH, Jumat (7/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada September lalu, korban penggusuran mengajukan uji materi UU Nomor 5/1960 ke MK. Warga Papanggo, Jakarta Utara dan Duri Kepa, Jakarta Barat bertindak sebagai pemohon judicial review tersebut. Mereka didampingi LBH Jakarta saat mendaftarkan dokumen gugatan.
Selama ini, kata Alldo, UU tersebut secara langsung memberikan kemudahan bagi pihak pemerintah atau pihak swasta untuk merampas lahan milik warga tanpa perlu membuktikan kepemilikannya. Bahkan yang lebih parah, penggusuran pun terjadi tanpa memberikan kompensasi apapun hanya dengan dalih UU tersebut.

Akibatnya, lanjut Alldo, penggusuran paksa yang melanggar hak dasar warga secara terus menerus terjadi.

"Dalam berbagai kasus penggusuran paksa, selain kehilangan rumah, warga juga kehilangan mata pencaharian dan pendidikan, tentu ini menyengsarakan warga," kata dia.

Lebih lanjut Alldo mengatakan penggunaan UU itu sudah tidak relevan lagi digunakan. Sebab kata dia, pada saat UU tersebut diterbitkan, saat itu situasi Indonesia berada dalam keadaan bahaya (staat van oar/cg beleg).

"UU itu sudah tidak Iagi kontekstual dengan kondisi sekarang, malah jika terus digunakan UU ini justru memicu terjadinya kekerasan saat penggusuran paksa yang biasanya melibatkan aparat untuk menakut-nakuti warga," kata dia.

Alldo mengatakan UU larangan pemakaian tanah tanpa izin tersebut masih menganut asas kolonial Domein Verklaring. Asas ini menganut bahwa setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik negara.
Padahal, asas tersebut telah dihapus sejak diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kedua UU itu mewajibkan pemerintah mendaftarkan aset-asetnya berupa tanah untuk mendapatkan sertifikat.

"Pemerintah hanya memaksa warga menunjukan sertifikat tanah, tapi pemerintah tidak pernah sama sekali menunjukan sertifikat milik mereka. Tentu ini tidak
adil," kata dia.

Praktik itu, kata Alldo, bukan hanya tidak relevan, tetapi justru telah melanggar standar Hak Asasi Manusia (HAM).
"Harusnya ada musyawarah, ada sosialisai, pemberian tempat yang layak, tentu tanpa menghilangkan sumber pencaharian mereka, kenyataanya justru yang terjadi saat ini malah serba kebalikannya, HAM seolah disepelekan," kata Alldo.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER