Boikot Anggaran Polri dan KPK, DPR Dinilai Kekanak-kanakan

CNN Indonesia
Rabu, 21 Jun 2017 20:10 WIB
Upaya boikot anggaran dianggap buntut dari kehabisan akal dan kekesalan atas kegagalan mengeluarkan Miryam dari bui untuk bersaksi di depan pansus angket.
Ilustrasi DPR RI. (CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Drama politik dalam pelaksanaan Pansus Angket KPK satu per satu mulai bermunculan. Kali ini, pansus angket KPK berencana memboikot anggaran Polri dan KPK tahun 2018.

Aktor utama di balik drama itu adalah anggota pansus angket yang duduk di Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun. Politikus Golkar itu kesal lantaran Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan KPK tidak mau mendatangkan Miryam S Haryani.

Miryam merupakan tersangka kasus dugaan memberi kesaksian palsu dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Kemdagri tahun anggaran 2011-2012 senilai Rp5,9 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kami mempertimbangan untuk menggunakan hak budgeter DPR dimana saat ini sedang dibahas RAPBN 2018 mengenai pagu indikatif mengenai kementerian lembaga," kata Misbakhun di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/6).

Dalam keterangannya, Tito menyatakan aturan dalan pasal 204 ayat (3) UU MD3 tentang upaya pemanggilan paksa bertentangan dengan hukum acara. Oleh karena itu, Polri menolak memanggil paksa tersangka Miryam.

Penolakan Polri seolah sejalan dengan KPK yang lebih awal menolak permintaan Pansus Angket untuk menghadirkan Miryam ke RDPU Pansus Angket pada Senin (19/6). Bahkan, dalam surat KPK disebutkan, upaya menghadirkan Miryam selaku tersangka merupakan bagian dari tindak pidana menghambat penyidikan perkara.

Menanggapi hal tersebut, Deputi Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi menyatakan, usulan DPR menyandera anggaran Polri dan KPK sangat bertentangan dengan hukum. Menurutnya, DPR tidak sepantasnya mempolitisasi uang rakyat di dalam APBN untuk mengancam Polri dan KPK.

“Sikap DPR berencana menyandera anggaran tersebut adalah tindakan melawan hukum. Itu uang rakyat, bukan uang anggota DPR,” ujar Apung kepada CNNIndonesia.com, Rabu (21/6).

Apung menilai, sikap DPR memberi tanda bintang bagi dua instansi hukum itu sangat kekanak-kanakan. Bahkan, ia melihat, upaya boikot anggaran merupakan buntut dari kehabisan akal dan kekesalan atas kegagalan mengeluarkan Miryam dari bui untuk bersaksi di depan pansus angket.

“Selain kekanak-kanakan karena ancam mengancam, yang dilakukan DPR itu kalap. Karena strategi angketnya salah prosedur, gagal semua, dan kehilangan akal,” ujarnya.

Lebih lanjut, Apung menyampaikan, boikot pembahasan anggaran kementerian atau lembaga tidak pernah terjadi. Selain inkonstitusional, boikot anggaran tersebut tidak diatur dalam UU mengenai keuangan negara atau APBN.

“Belum pernah ada sejarahnya bisa dilakukan, karena itu inkonstitusional,” ujar Apung.

Meski mengaku sangat kecewa, Apung tidak begitu khawatir jika DPR benar-benar memboikot anggaran Polri dan KPK. Pasalnya, ia berkata, kedua lembaga penegak hukum itu masih bisa menggunakan pagu anggaran tahun 2017.

“Kalapun di RAPBN 2018 coba diganjal, maka aturannya KPK dan Polri akan memakai pagu anggaran tahun sebelumnya. Artinya tetap dapat dari APBN,” ujarnya.

Pembentukan hak angket awalnya digulirkan oleh anggota komisi III DPR. Tujuannya untuk menyelidiki pengakuan Miryam kepada Penyidik KPK Novel Baswedan yang mengaku ditekan oleh sejumlah anggota DPR saat menjadi saksi kasus korupsi e-KTP.

Dalam persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa mantan pejabat kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Novel mengungkapkan miryam ditekan oleh enam anggota DPR. Karena itu, Miryam mencabut Berita Acara Pemeriksaan.

Keenam orang anggota DPR yang mengintimidasi Miryam, di antaranya politikus Golkar Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, politikus Gerindra Desmond J Mahesa, politikus Hanura Syarifudin Suding, dan politikus PDIP Masinton Pasaribu. Nama-nama yang disebut Novel, membantah telah mengancam Miryam.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER