Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir empat bulan berlalu, belum ada titik terang dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Kepolisian seakan kesulitan mencari pelaku penyerangan yang terjadi pada 11 April lalu.
Sudah puluhan saksi diperiksa dalam penyelidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya. Sejumlah toko yang menjual bahan-bahan kimia, termasuk air keras pun sudah disatroni polisi guna melacak pelaku.
Hal tersebut belum membuahkan hasil maksimal. Selama pengusutan, polisi baru 'bisa' menggambar sketsa wajah terduga pelaku penyerangan Novel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terakhir, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut bakal membentuk tim gabungan investigasi bersama KPK untuk mengungkap pelaku dan dalang penyiraman air keras ke salah satu penyidik senior itu.
Anggota Wadah Pegawai KPK Hery Nurdin menilai Polri bukan tidak mampu untuk membongkar penyerangan terhadap Novel. Menurut dia, penuntasan kasus penyiraman air keras ini tinggal menunggu kemauan Korps Bhayangkara.
"Karena berdasarkan data, fakta yang kami miliki itu, ya bukan masalah kemampuan tetapi masalah kemauan. Jadi saya enggak usah bicara detail ya," kata Hery saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, kemarin (5/8).
Hery mengatakan, pihaknya masih memberikan kesempatan ke Polri untuk mengusut pelaku dan dalang teror air keras ini. Meskipun, lanjut Hery, sejak awal pihaknya pesimis kasus teror ini bakal diungkap dengan cepat.
"Tapi kita berikan waktu dulu lah, kalau ibaratnya kita berikan waktu dan ruang cukup, biar beliau-beliau berpikir lagi untuk Indonesia yang lebih baik lagi," tuturnya.
Hery yang juga Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK itu menyebut kasus penyerangan Novel ini menjadi catatan buruk bagi penegakan hukum.
Tak hanya itu, Hery menilai tak kunjung terungkapnya pelaku dan dalang teror air keras ini juga menjadi catatan buruk Jenderal Tito kala memimpin Polri.
 Kesungguhan Polri mengusut kasus Novel diragukan sejumlah pihak. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari) |
Hery menyebut, jika polisi belum juga mampu membongkar pelaku penyerangan Novel ini, pihaknya bakal mencari jalan lain untuk penyelesaiannya.
"Pada sampai titiknya tak bisa optimal kita cari jalan lain. tapi bukan menjelekan siapa-siapa, tapi untuk ungkap kebenaran. Kami bukan mau serang sana-sini," kata dia.
Sejauh ini desakan agar Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terus menguat. Harapannya ada tim ini muncul, saat Jokowi memanggil Tito guna menanyakan kasus penyerangan tersebut.
Sayangnya, usai pertemuan Tito tak menyampaikan pembentukan TGPF yang indpenden tersebut. Jenderal bintang empat itu hanya menyampaikan pembentukan Tim Gabungan Investigasi, yang belum disepekati KPK.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), juga telah menyelesaikan penyelidikan yang dilakukan Tim Pemantauan dan Penyelidikan. Hasil temuan tersebut nantinya bakal diserahkan ke Jokowi, Tito dan Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Azis.
Dari internal pegawai KPK sendiri, mereka mendesak dibentuknya TGPF guna mengungkap pelaku dan dalang teror air keras terhadap Novel. Mereka menginginkan masyarakat sipil ikut dilibatkan dalam pengungkapan ini.
'Tak Ada Novel, Kami Bisa'Novel sudah hampir empat bulan tak berkantor. Terakhir dirinya masuk kerja pada Senin 10 April 2017, sehari sebelum penyerangan air keras usai Salat Subuh di masjid dekat rumahnya.
Novel mesti menjalani perawatan di Singapura guna memperbaiki kedua matanya yang rusak akibat serangan air keras tersebut. Mata kanannya mulai membaik, sementara mata kirinya perlu dioperasi lebih lanjut.
Dari sejumlah foto yang beredar, mata kiri Novel tampak memutih. Sampai saat ini mata kirinya belum bisa melihat. Operasi lanjutan pun bakal dilakukan pada minggu depan untuk mengganti jaringan kornea yang rusak.
Kemungkinan terburuk bila Novel tidak kembali lagi ke markas antirasuah pun tak menjadi soal.
 Novel Baswedan usai menjalani operasi mata. (Biro Humas KPK) |
Henry mengatakan, semua pegawai KPK, termasuk penyelidik maupun penyidik terus bekerja meski Novel masih menjalani perawatan. Pasalnya, kerja di KPK itu terbangun berdasarkan sistem bukan personal.
"Tidak hanya bang Novel, semua tetap bekerja tim. Jadi ada tidak ada bang Novel kita tetap saja bekerja," tuturnya.
Sekalipun, kata Hery, Novel dalam kemungkinan terburuknya berhenti bekerja karena gangguan pada penglihatannya, sistem yang terbangun tetap berjalan. Terlebih, menurut Hery, pegawai KPK memiliki kemampuan di atas rata-rata.
"Siapa pun itu keluar, siapa pun nggak ada, kerja tetap bagus, karena
by sistem," tuturnya.
Henry menilai, Novel merupakan ikon pemberantasan korupsi yang muncul saat ini. Semangat jebolan Polri itu dalam pemberantasan korupsi tak perlu dipertanyakan kembali. Dia pun memilih bergabung dengan KPK, dan keluar dari kesatuan polisi.
"Jadi ada, tidak ada pun sebenarnya tidak masalah. Tapi ada Bang Novel lebih bagus," kata Hery.