Jakarta, CNN Indonesia -- Muhammad Al Khaththath berdiri di mimbar yang dindingnya bertuliskan Markaz Syariah. Siang itu dia mengenakan jas hitam dan peci putih. Al Khaththath langsung menyapa jemaah yang mayoritas anggota Front Pembela Islam (FPI).
“Takbir!” seru pria berjanggut itu dengan suara berat.
“Allahu Akbar,” pekik para jemaah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahad pertama Agustus 2017, Al Khaththath alias Gatot Saptono yang menjabat Dewan Ahli FPI diundang berceramah di markas Petamburan, Jakarta Pusat. Dia juga memegang jabatan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI), organisasi yang kerap satu barisan dengan FPI ketika turun ke jalan.
Al Khaththath menghirup udara bebas usai penahanannya ditangguhkan pada 12 Juli lalu. Pria asal Pasuruan, Jawa Timur ini sebelumnya ditahan pihak kepolisian karena tuduhan ingin menggulingkan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Tepat 3 bulan 13 hari Al Khaththath ‘mondok’ di Mako Brimob dan Polda Metro Jaya. Dia ditangkap pada malam sebelum Aksi Bela Islam 313, 31 Maret lalu.
Siang itu, Al Khaththath tampak ekspresif menyampaikan ceramah. Tatapannya tajam, suaranya lantang. Meskipun tegas dalam berpidato, tak jarang dia menyisipkan gurauan di tengah khotbah.
Dia berbagi kisah tentang pengalamannya selama mendekam di tahanan. Hidup di penjara, menurutnya, adalah kesempatan untuk lebih banyak beribadah kepada Allah. Al Khaththath mengatakan bisa membaca 10 juz Alquran tiap hari selama di bui.
“Kalau di luar begini, satu juz sehari saja sudah
alhamdulillah. Jadi kalau ingin sepuluh juz sehari, masuk Mako Brimob,” katanya berseloroh.
Para jemaah pun tertawa.
Al Khaththath bercerita, saat ditahan di Polda Metro Jaya dirinya bertemu Ki Gendeng Pamungkas, tersangka kasus dugaan diskriminasi ras dan etnis. Dia mengaku sempat membimbing Ki Gendeng untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan salat lima waktu.
Hubungan keduanya pun makin akrab. Bahkan Al Khaththath diajak Ki Gendeng untuk umrah bersama lima orang yang juga disangka ingin makar, ketika bebas. “Jadi kalau mau diajak umrah bersama, makar!” guyon Al Khaththath lagi.
Al Khaththath mengatakan pihaknya akan melakukan konsolidasi umat dengan gerakan Subuh berjemaah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Gerakan Subuh BerjemaahObrolan mereka berlanjut hingga akhirnya tercetus sebuah pemikiran tentang gerakan. Al Khaththath mengakui gagasan Ki Gendeng cukup bisa diperhitungkan.
“Dia bilang, ‘Ustaz, negara kita ini enggak akan beres sebelum
antum ketika keluar dari sini ajak seluruh umat Islam, tidak harus seluruh Indonesia, minimal dari ujung kulon sampai ujung wetan Pulau Jawa, dari Anyer sampai Banyuwangi adakan gerakan salat subuh berjemaah’” ujar Al Khaththath.
Dia menambahkan gerakan memanjatkan doa bersama usai salat subuh berjemaah di masjid atau musala itu ditujukan agar Allah memberi pemimpin yang saleh, pemimpin muslim yang mukmin.
Dengan demikian, kata Al Khaththath, Indonesia akan beres. “Coba bayangkan yang gendeng saja bisa berpikir seperti itu, masa yang waras enggak bisa,” ujarnya.
Untuk meneguhkan sikap, Al Khaththath pun bertanya kepada para jemaah.
“Saya mau tanya, siap untuk ikut berjuang? Mengajak umat Islam datang ke masjid? Memenuhi salat subuh di masjid? siap berjuang?” ujar Al Khaththath dengan suara lantang.
“Siap! Allahu Akbar!”
Menyasar Pilkada hingga PilpresDi tempat terpisah, Juru Bicara Slamet Maarif mengatakan, Milad ke-19 FPI pada 19 Agustus nanti menjadi momentum untuk memperkuat persatuan umat. Dia mengatakan, suhu gerakan menurun usai Aksi Bela Islam 212 yang digelar akhir 2016.
Peserta Aksi 212 itu diklaim mencapai jutaan orang. Massa menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara karena tuduhan menistakan agama Islam. Aksi berlanjut hingga Pilkada DKI Jakarta usai dan Ahok dijebloskan ke penjara karena kasusnya.
“Kami ingin (Milad FPI) jadi ajang reuni 212. Setelah 212 suhu perjuangan kami, ikatan kami agak redup. Itu harus disatukan kembali karena perjuangan kami masih panjang, ada Pilkada Jabar, Pilpres 2019, umat Islam harus dalam satu ikatan,” kata Slamet saat ditemui di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
Dia mengatakan, kemenangan pemimpin muslim di Pilkada DKI Jakarta harus diteruskan ke wilayah lain hingga Pemilu 2019. Hal itu bisa tercapai jika umat Islam bersatu dan kuat.
Slamet menyatakan, FPI ke depan akan mengawal proses politik setiap pemilu.
“Kita tidak bisa lepas dari politik, karena dari politik, kebijakan itu dikeluarkan. Supaya kebijakan tidak bertabrakan dengan nilai Islam, membumihanguskan Islam, mengkerdilkan Islam, kita harus bermain politik,” tegasnya.
Strategi dan sistem yang telah berjalan untuk mengawal pilkada sebelumnya akan ditularkan ke wilayah lain. Di antaranya menggelar gerakan subuh berjemaah maupun dakwah di majelis taklim untuk memperkuat persatuan umat. Saat ini, kata Slamet, FPI sedang fokus pada Pilkada Jabar.
“Bagaimana kami konsolidasikan umat, menggerakkan gerakan subuh berjemaah di Jabar, itu ternyata efektif kemarin. Kami akan lakukan itu di Jabar,” katanya.
 Ilustrasi salat berjemaah (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain konsolidasi umat di tataran gerakan, Slamet menjelaskan, FPI juga melakukan lobi dengan partai politik yang tidak ikut mendukung penista agama. Lobi itu terkait mencalonkan muslim yang mukmin untuk maju dalam pilkada.
“Calon yang wajib dipilih umat Islam adalah muslim yang bertakwa dan berakhlakul karimah, itu standar baku. Kalau ada sama-sama muslim, mana yang manfaatnya lebih besar buat umat,” jelasnya.
Slamet mengatakan, para ulama dari berbagai ormas Islam dikumpulkan dalam majelis muzakarah untuk bermusyawarah menentukan calon pemimpin yang layak didukung dalam pilkada.
Mereka menimbang siapa yang lebih bermanfaat bagi umat Islam. Keputusan dari majelis tersebut yang akan diperjuangkan.
“Di Banten kemarin berhasil. Terdekat, prioritas kami (Pilkada) Jabar, seluruh energi kami akan lebih banyak untuk Jabar,” tutur Slamet.
Dosen Uhamka ini mengatakan, perjuangan politik yang dilakukan FPI tetap pada jalur konstitusional. Mereka berjuang lewat pemilu untuk memenangkan pemimpin muslim.
Slamet menambahkan, FPI tidak memiliki niat menggulingkan pemerintahan yang sah di tengah jalan walaupun mereka tidak sejalan dengan kepemimpinan nasional. Organisasinya memilih berjuang di Pemilu 2019.
"Kalau kami menganggap Jokowi membahayakan umat Islam, merugikan umat Islam, musuh umat Islam, maka cara kami 2019 harus lengser lewat pemilu, caranya dari awal kami bergerilya ke masyarakat, ke umat Islam," katanya.
(asa)