Jakarta, CNN Indonesia -- Munculnya rencana pemutaran kembali film
Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI menuai beragam reaksi, termasuk dari Presiden Joko Widodo yang langsung meresponsnya dengan gagasan agar dibuat film G30S/PKI versi baru.
Tujuannya, kata Jokowi, agar lebih dapat diterima oleh generasi milenial.
Rencana pemutaran kembali film karya Arifin C. Noer ini salah satunya diinisiasi oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gatot bahkan memerintahkan jajarannya untuk menggelar nonton bersama film bergenre dokudrama itu. Ia beralasan pemutaran ulang film itu untuk mengingatkan peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 agar tidak terulang.
Ada yang menolak, namun tak sedikit pula yang mendukung. Di parlemen, dukungan datang dari sejumlah partai seperti PAN dan Golkar. Bagi PAN, pemutaran film itu diharapkan menjadi upaya menyatukan persepsi kader mereka dalam memandang PKI.
Sementara Presiden Jokowi tak menampik pentingnya menonton film sejarah, termasuk soal G30S/PKI. Hanya saja, menurut Jokowi, perlu ada versi baru dari film bertema PKI untuk memudahkan generasi milenial mengetahui PKI dan bahaya komunisme.
“Akan lebih baik kalau ada versi baru, kekinian, bisa masuk ke generasi milenial,” ujar Jokowi beberapa waktu lalu.
Pernyataan Jokowi ini dinilai sebagai penolakan halus terhadap rencana Panglima TNI untuk nobar film tersebut. Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mengatakan, saran Jokowi adalah ungkapan tersirat agar film G30S/PKI versi lama tak perlu ditonton kembali.
“Tentu tidak enak kalau Pak Jokowi langsung mengatakan Panglima salah dengan meminta film G30S/PKI kembali diputar. Tapi secara halus Jokowi menyarankan agar buat film baru yang lebih cocok untuk generasi muda,” kata Asvi.
Melalui film versi baru ini, kata Asvi, pemerintah bisa turut ‘meluruskan’ sejarah 1965 yang digambarkan dalam film versi lama.
Asvi menyebut secara substansi terdapat sejumlah cerita dalam film versi lama yang tak sesuai dengan fakta dan berpihak pada kelompok tertentu, misalnya, terlalu menonjolkan peran mantan Presiden Soeharto sebagai seorang pahlawan.
Di sisi lain, film itu mengesankan sosok Presiden Indonesia pertama Sukarno sebagai pengkhianat bangsa yang dekat dan diatur oleh PKI. Menurut Asvi, pihak pembuat film dapat bekerja sama dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud dan melibatkan sejarawan untuk meluruskan fakta tersebut.
“Apalagi orang sekarang sudah bisa mencari dari berbagai sumber yang terbuka. Banyak dokumen yang bisa dibaca untuk meluruskan,” ucapnya.
 Diorama peristiwa G30S/PKI di Lubang Buaya, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean) |
Film
Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI diproduksi oleh Perum Produksi Film Negara (PPFN) dan dirilis pada 1984. Kala itu, PPFN diketuai Gufran Dwipayana yang juga anggota militer.
Pemerintahan Orde Baru sempat mewajibkan siswa-siswi menonton film ini setiap 30 September. Namun, pada 1998 seiring jatuhnya Soeharto, film tersebut berhenti diputar menyusul protes sejumlah pihak yang menganggap film itu sebagai alat propaganda rezim militer Orde Baru.
Kini film
Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI kembali diwacanakan untuk diputar kembali. Negara memang tak mewajibkan pemutaran ulang. Ide itu hanya datang dari TNI.
Rasa Terancam TNIAsvi berpendapat, keinginan Panglima TNI untuk memutar kembali film tersebut dilatarbelakangi perasaan terancam atas bahaya PKI. Padahal, dia melanjutkan, partai komunis saat ini sudah tak ada lagi.
“Ancaman kebangkitan PKI itu jelas omong kosong. Tidak ada kegiatannya dan tidak ada partainya, jadi apa yang ditakutkan?” tutur Asvi.
Oleh karena itu, Asvi menilai rencana Panglima TNI untuk nobar film G30S/PKI bersama para prajurit tak ada gunanya. Ia meminta agar Panglima TNI mengikuti saran Jokowi untuk membuat film G30S/PKI versi baru.
Para prajurit TNI pun, kata dia, tak wajib menonton film yang pernah memecahkan rekor sebagai film terlaris pada tahun 1984 itu. Alih-alih menonton film G30S/PKI, menurut Asvi, para prajurit TNI lebih baik disuguhi tontonan soal bahaya terorisme atau narkotika.
“Itu lebih aktual dan konkret ketimbang bahaya komunisme yang tidak jelas dan tidak ada. Jadi mewajibkan prajurit nonton itu tidak ada gunanya,” tegas Asvi.