Jakarta, CNN Indonesia -- Runtuhnya Orde Baru pimpinan Soeharto pada tahun 1998 menjadi pintu masuk bagi banyak kalangan di luar elite nasional berpatisipasi dalam politik. Euforia itu juga tidak luput dirasakan kalangan
santri yang sejak dahulu ada dalam politik.
Santri pada masa itu tidak mendapat tempat strategis dalam struktur pemerintahan dan hanya menjadi alat politik. Peran itu berbanding terbalik atau berbeda dengan posisinya sebelum Orba, di mana mereka dapat bergerak bebas berpartisipasi lewat ide dan gagasannya.
Pascareformasi, eksistensi santri mencapai puncak. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang lahir dan besar di lingkungan pesantren terpilih menjadi presiden keempat RI. Ia seolah representasi bagi kalangan santri dalam dunia politik yang lama terkurung dalam era Orba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, setelah 16 tahun berlalu, belum ada santri yang dapat duduk sebagai presiden seperti Gus Dur. Meski demikian, santri saat ini mulai menyebar di banyak parpol, tidak lagi hanya berada dalam sebuah partai Islam atau partai berbasis massa pemeluk Islam.
Salah satu santri yang saat ini terjun ke dunia politik, ialah Maman Imanulhaq Faqih. Ia kini duduk sebagai anggota DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang salah satunya didirikan Gus Dur.
Selama menempuh pendidikan pesantren di Jawa Barat, Maman mengaku sudah menanamkan niatnya terjun ke dunia politik. Bagi dia, santri tidak harus berkutat di dunia dakwah semata.
Ia menilai, politik juga merupakan wadah mengimplementasikan nilai keagamaan yang dimilikinya. Lewat politik, Maman mengaku dapat memperjuangkan aspirasi yang diamanahkan kepada dirinya.
"Sesuai perannya, seorang santri akan berkiprah di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah. Dengan statusnya sebagai politisi, santri akan memperjuangan aspirasi masyarakat," ujar Maman kepada
CNNIndonesia.com.
Maman yang juga Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mizan, Majalengka melihat,
 Maman Imanulhaq Faqieh mengatakan santri saat ini telah mentransformasikan pandangan ke-Islamannya menjadi modern. (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari) |
Santri saat ini seolah dituntut untuk memiliki daya saing dan beradaptasi dengan perubahan sosial agar tidak lagi dipandang sebagai sebuah golongan yang terpinggirkan.
Dalam kontestasi politik, Maman mengaku, menerapkan prinsip politik kemaslahatan. Dengan prinsip itu, ia menyebut, segala hal yang dilakukannya hanya untuk kepentingan yang berkeadilan bagi semua pihak.
Ia juga mengaku, menerapkan prinsip kejujuran dan kebersamaan sebagai pengingat dirinya agar tidak terjurumus ke dalam politik yang sesat. Prinsip itu ia peroleh dari membaca kitab kuning dan kitab putih selama menjadi santri.
"Memasuki politik praktis itu sama seperti memasuki sebuah belantara yang kalau tidak hati-hati bisa terjerumus," ujarnya.
Selain prinsip itu, Maman sengaja masih menggunakan kopiah sebagai ciri khas kesantriannya dalam dunia politik. Kopiah dianggap sebagai pengingat dirinya untuk menjaga tutur dan tindakan yang dilarang agama.
Kopiah juga diklaim tidak membuat Maman diasingkan para koleganya di dunia politik. Maman melihat, koleganya menghormati dirinya karena kemampuan personal yang dimilikinya.
"Kopiah itu agar saya bisa menjaga diri dan etika-etika santri. Santri di mana pun berada, jadi apapun dia itu harus menjunjung nilai kejujuran, kesantunan, dan keadaban," ujarnya.
Sebagai santri yang terjun ke politik praktis, Maman mengklaim, tidak membatasi pergaulannya dengan politisi lain. Maman mengaku sebagai sosok pluralis yang kerap membangun komunikasi dengan politisi yang berbeda latar atau agama yang ada di partai lain.
Meski demikian, Maman mengaku tidak memungkiri godaan di dunia politik amat besar. Ia berkata, beberapa kali berhadapan dengan makelar proyek saat membahas atau hendak mengesahkan sebuah Undang-Undang.
"Kami tetap ada sebagai seorang
santri tidak menutup dan membatasi diri untuk bergaul dengan kelompok putih dan abu-abu. Tapi kami tidak terjerumus ke dalam hal yang tidak diajarkan di pesantren," ujar Maman.
Sementara itu, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengaku politik adalah hal yang asing baginya. Ia mengaku butuh waktu beradaptasi dengan dinamika yang ditemuinya di dunia politik.
"Ketika pertama kali terjun ke politik praktis memang perlu adaptasi. Awalnya memang agak kaget, namun setelah adaptasi ternyata bisa menyesuaikan," ujar Baidowi kepada CNNIndonesia.com.
Baidowi yang pernah mengenyam Madrasah Aliyah dan lulusan univeristas berbasis agama Islam tidak memungkiri banyak godaan di dunia politik. Godaan itu muncul dalam banyak kesempatan, mulai di dalam atau di luar parlemen.
Namuan, Baidowi mengaku, sampai saat ini dapat menahan diri dari godaan-godaan yang silih berganti menerpanya.
Salah satu cara dirinya mengatasi hal itu dengan menjadikan politik sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Dengan cara itu, ia mengaku, bisa menolak dan membedakan hal yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran agama.
Selain itu, ia juga terus menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar sebagai pegangan dan mengamalkan prinsip Islam Rahmatan Lil’alamin sebagai implementasi dalam berpolitik.
"Kita niatkan berpolitik bagian dari ibadah, yakni memperjuangkan aspirasi umat Islam. Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut, alhamdulillah masih bisa menjaga diri," ujar Baidowi kepada CNNIndonesia.com.
Lebih lanjut, dalam memperjuangkan aspirasi santri di parlemen, Baidowi mengaku, kerap lebih awal memberikan pemahaman kepada santri bahwa berpolitik bagi umat Islam merupakan hal yang penting.
Politik, bagi umat Islam harus dipandang sebagai media untuk memperjuangkan ajaran-ajaran Islam, bukan sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sebab, memperjuangkan ajaran Islam saat ini harus dicapai lewat kekuasaan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu senafas dengan ajaran atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan Islam.
"Memperjuangkan ajaran-ajaran Islam melalui jalur kekuasaan sangat penting. Dengan pemahaman seperti itu, maka santri diharapkan tidak lagi apriori terhadap politik," ujarnya.
Baidowi menyampaikan, beberapa kebijakan di parlemen untuk mengakomodasi kepentingan santri, di antaranya sertifikat lahan ponpes, lahan yayasan pendidikan Islam, dan lahan masjid.
Selain itu, ia juga mengklaim, mendorong kalangan santri untuk aktif tugas penyelenggara pemilu sebagai upaya menambah pengalaman terkait pembangunan demokrasi.
"Kaitan dengan program yang ditawarkan, tentu saja disesuaikan dengan tupoksi di parlemen. Seperti saya anggota Komisi II yang membidangi politik dan pemerintahan dalam negeri," ujarnya.
Lebih dari itu, Baidowi mengklaim, tidak ada gesekan yang serius dalam kontes perebutan suara dari kalangan santri karena masing-masing politisi memiliki segmen sosialnya masing-masing.
Ia juga berkata, para pimpinan pondok pesantren seringkali sudah memiliki afiliasi dengan parpol tertentu sehinga mudah dipetakan kekuatannya.
"Paling tidak, saya berusaha silaturahmi ke segenap elemen
santri yang memungkinkan. Seandainya tidak mendukung saya, minimal ikut mendoakan saya dan tidak mengganggu pencalonan saya. Itu saja cukup untuk merawat kebersamaan," ujar Baidowi.