Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pengecekan fisik wihara Tri Ratna Jakarta Pusat sebagai objek sengketa dalam gugatan kepemilikan tanah dan bangunan, Senin (30/10).
Pengecekan fisik ini merupakan tindak lanjut gugatan di tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta yang dilayangkan seseorang bernama Moe Irwan Raharja atas kepemilikan tanah dan bangunan wihara.
Ketua Majelis Hakim Mahfudin yang memimpin pemeriksaan objek sengketa, mengecek batas-batas wilayah dan bangunan fisik di dalam wihara. Hasil pengecekan itu akan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ini sebenarnya perkara lama. Di dalam penetapan putusan sela, PT memerintahkan PN Jakarta Pusat memeriksa objek sengketa. Untuk itu kami melihatnya,” ujar Mahfudin usai melakukan pengecekan wihara.
Dari hasil pengecekan, terdapat sejumlah temuan berbeda dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki Moe sebagai pihak penggugat, di antaranya yakni soal batas wilayah dan luas tanah wihara.
Kuasa hukum yayasan wihara, Syamsudin Arwan mengatakan dalam sertifikat hak pakai 177 yang dimiliki wihara tercantum sejumlah perubahan batas wilayah. Kemudian pada luas tanah, lanjutnya, terdapat selisih yakni 1.089 meter persegi pada sertifikat HGB dan 1.600 meter persegi pada sertifikat hak pakai.
Merujuk pada Peraturan Menteri Agraria 9/1999 menyebutkan jika terdapat selisih perbedaan antara batas tanah yang tidak sesuai menunjukkan adanya cacat hukum administrasi.
“Berarti terdapat kesalahan data yuridis dan fisik yang mengakibatkan sertifikat cacat hukum, sehingga dapat dibatalkan,” katanya.
Syamsudin juga menegaskan bahwa kepemilikan wihara mendasarkan pada SK Gubernur DKI 10 Januari 1972 yang menyatakan bahwa segala tindakan pembongkaran, perubahan, dan pemindahan di atas bangunan hanya dapat dilakukan atas izin gubernur kepala daerah.
“Peraturan itu sudah jelas. Siapa pun yang melangar akan dituntut sesuai UU yang berlaku,” tutur Syamsudin.
 Umat membawa poster menolak sengketa lahan di Vihara Tri Ratna di Jakarta, Senin, 30 Oktober 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Proses GugatanGugatan kepemilikan tanah dan bangunan wihara di pengadilan memakan proses yang cukup panjang. Salah satu umat wihara, Anton Wiguna mengatakan, gugatan itu berawal ketika muncul surat gugatan dari Moe yang meminta kepada pengurus yayasan agar segera mengosongkan tanah dan bangunan wihara pada 2014.
“Dari gugatan itu kami baru tahu kalau sertifikat tanah hak pakai kami berubah menjadi HGB atas nama Moe,” ujar Anton kepada CNNIndonesia.com
Dari sejumlah keterangan, lanjut Anton, sertifikat HGB itu diperoleh dari hasil hibah seseorang bernama Gunawan Mihardja yang mengaku sebagai Ketua Dewan Kong Koan atau sejenis dewan tionghoa di Jakarta. Dalam putusannya, PN Jakarta Pusat menyatakan gugatan Moe tidak dapat diterima.
Anton menyatakan, yayasan wihara Tri Ratna adalah satu-satunya pihak yang berhak atas tanah dan bangunan tersebut. Sebab, sejak awal tanah dan bangunan itu telah dikelola sebagai tempat ibadah.
“Bangunan wihara juga telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak tahun 1972. Kalau dialihkan harus izin dulu dari gubernur DKI sebagai pihak yang berwenang,” katanya.
Wihara Tri Ratna, kata Anton, hingga saat ini masih aktif digunakan untuk beribadah umat Budha. Bahkan jumlah jemaatnya mencapai ratusan orang setiap hari.
“Jangan sampai wihara Tri Ratna dibongkar. Mudah-mudahan hakim bisa memutuskan dengan adil,” ucapnya.