Tak cuma musik, gaya berpakaian juga turut menandai awal masuknya punk di Indonesia. Fashion punk memang berbeda dari gaya komunitas lain. Tampilan mereka unik, nyeleneh, dan kontras dengan gaya mainstream.
Widya G, dalam 'Punk: Ideologi yang Disalahpahami' menulis, punk memiliki caranya sendiri untuk menampilkan kepribadian dari
scene-nya masing-masing. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesoris, selera musik, atau pilihan kegiatan menjadi perwujudan identitas individu atau sekelompok orang, termasuk komunitas punk.
"Fashion asli punk pada 1970-an di Inggris dan Amerika Serikat dimaksudkan sebagai suatu yang konfrontatif, mengejutkan, dan melawan," ujar Widya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, beberapa anak muda di Bandung, Jawa Barat pada awal 1990-an mulai mengimpor fashion ala punk barat. Mereka merealisasikannya dengan berdandan mohawk dilengkapi dengan atribut-atribut khas punk yang melekat di tubuh.
Widya menyebut, selain Jakarta dan Bandung, komunitas punk mulai tumbuh di kota-kota lain, seperti Malang, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Bali.
Pertumbuhan komunitas itu tentu ditandai oleh penampilan khas punk. Lewat fashion, mereka ingin mendobrak ketertiban dan keteraturan mainstream di masyarakat.
Seperti di banyak literatur yang menyebut, punk berarti
public united nothing kingdom atau gerakan di Inggris pada 1960-an yang menolak, melawan, menentang ketertiban dan semua peraturan kerajaan. Fashion menjadi salah satu cara mereka menentang ketertiban dan keraturan kerajaan itu.
Fashion sebagai salah satu elemen penting di komunitas punk sudah dapat ditemukan pada periode pra-punk. Dandanan punk dengan menggunakan jaket ala Ramones bahkan sudah terlihat pada era 1980-an.
Hanya Ingin Senang-senangPunk sekali lagi terbentuk sebagai upaya perlawanan terhadap budaya dominan atau
counter culture. Karib meminjam perkataan Stacey Thompson, Ilmuwan dan penulis buku Punk Productions;
Unfinished Business untuk menjelaskan tentang empat unsur utama yang mempengaruhi pelaku dalam komunitas punk secara historis di dalam perlawanan budaya dominan.
“Musik, fashion (busana), tongkrongan, dan pergerakan (pemikiran). Empat unsur ini hadir di dalam komunitas punk tidak pada saat bersamaan," kata Karib.
Menurutnya, para komunitas punk Jakarta, khususnya generasi awal, tujuan besar mereka adalah menikmati musik dan sebagai pembentukan budaya anak muda yang berbeda dari kebudayaan dominan.
"Kalau dalam konteks Indonesia dan secara partikular, (tujuannya)
we just want to have fun. Ini juga yang mendorong munculnya punk misalnya di Inggris dan Amerika. Dari kreativitas anak muda yang akhirnya membentuk budaya tersendiri," ujar dia.
Karib menjelaskan, budaya 'sendiri' yang diciptakan komunitas punk memang didasari pada ketidakadilan sosial-ekonomi. Perlawanan komunitas punk juga tak bisa disandingkan dengan asosiasi menang-kalah.
Cara berpikir menang-kalah menurutnya kurang sesuai dalam melihat bagaimana komunitas punk tumbuh dan hidup dari masa awal sampai ke periode selanjutnya. Bagi Karib, ada cara lain untuk menjalani kehidupan tanpa harus mengikuti kebiasaan
mainstream. Cara hidup ini yang dirasa lebih penting lalu menjadi nilai-nilai dari punk itu sendiri.
Karib menilai, para anggota komunitas itu mengimplementasikan ketidaksukaan terhadap budaya dominan yang mapan dengan dua hal. Pertama, kritik dengan musik. Kedua, dengan sederhana menjalani keyakinan dan gaya hidup yang berbeda dari apa yang tidak disukai.
"Kalau nggak suka musik
mainstream, ya saya bikin saja musik alternatif yang saya suka. Jadilah saya memainkan musik punk," katanya.
(osc/sur)