Jakarta, CNN Indonesia -- Punk selain sebagai aliran musik dan gaya berpenampilan juga disebut punya ideologi sendiri. Anarkisme kerap dilekatkan dengan punk.
Band punk rock berpengaruh asal Inggris, Sex Pistols, memberi karakter kuat tentang ideologi tersebut pada lagu “Anarchy in the U.K.”. Dalam perkembangannya, banyak musikus punk terpengaruh Sex Pistol dan mempelajari pesan yang disampaikan dalam lagu yang dirilis 1976 itu.
“I am an antichrist/ I am an anarchist/ Don’t know what I want/ But I know how to get it/ I wanna destroy passer by” demikian penggalan lirik Anarchy in the U.K.
Sementara Jon Savage dalam buku England’s Dreaming: Anarchy, Sex Pistols, Punk Rock, and Beyond (1992) menyebut punk adalah tentang pemuda, di mana pemberontakan dan kehidupan jalanan sebagai elemen penting, di samping individualitas yang kental.
Seorang musisi punk di Jakarta, Leonardo Ichwan Redion Mamahit mengatakan, punk dan anarki merupakan dua hal yang berbeda namun memiliki semangat yang sama, yaitu kebebasan.
Vokalis band punk The Sabotage ini mengatakan, anarki membebaskan setiap orang mengatur hidupnya sendiri di bawah kontrol dan tanggung jawab masing-masing. Punk menjadi saluran ekspresi kebebasan melalui musik, penampilan, dan pergerakan.
“Anarki berarti tanpa ada yang memerintah. Enggak ada yang berhak mengatur diri gua, kecuali diri gua sendiri yang mengerti batasannya,” kata pria yang akrab disapa Onie Fukkguy.
Namun kebebasan itu sendiri, menurut Onie, masih tersandera oleh sistem yang dibuat negara untuk mengatur kehidupan politik, hukum, sosial, ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Vokalis band punk Leonardo Ichwan Redion Mamahit alias Onie. (CNN Indonesia/Andito Gilang Pratama) |
Sebagai pemain band, Onie menuangkan kekecewaan terhadap sistem itu melalui musik. Salah satu lagu berjudul "No Peace Today, No Life Tomorrow" yang dia ciptakan bersama The Sabotage bercerita soal perang terhadap ketidakadilan.
"Indonesia memang sudah enggak ada perang (fisik), tapi perang di sini lebih kepada
injustice (ketidakadilan). Teman kami jualan tapi enggak punya lapak karena sewa mahal, akhirnya turun ke jalan jualan sembarangan, barangnya diambil petugas. Itu sistem, musuh kami,” katanya.
Malam itu kami bicara panjang lebar dengan Onie yang ditemani dua rekannya sesama personel The Sabotage. Bukan cuma soal ideologi punk, tapi juga soal musik dan komunitas punk di ibu kota.
Kami duduk melingkar di emperan sebuah kafe di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Ia dan rekannya menenggak anggur bergiliran yang dibeli dari lapak jamu pinggir jalan.
"Sekadar menghangatkan badan," katanya.
Rekaman video band punk rock legendaris asal Amerika Serikat, Ramones, turut menemani perbincangan kami. Onie tak sabar bertemu Marky Ramone, mantan penggebuk drum Ramones.
Dia menang undian dan mendapat kesempatan berjumpa Marky yang akan menggelar konser di Jakarta pada 5 Desember 2017. Marky adalah satu-satunya personel Ramones yang masih hidup.
Jelang pagi itu, Onie membatasi diri untuk tidak lagi meneguk anggur meski isi botol belum habis. Dia mengontrol diri agar tidak berlebihan mengonsumsi alkohol karena alasan kesehatan.
 Punk adalah tentang pemuda, di mana pemberontakan dan kehidupan jalanan menjadi elemen penting di dalamnya. (CNN Indonesia/Prima Gumilang) |
Bunuh Diri KelasSoal ideologi, salah seorang punk Jakarta lainnya, Mikail Israfil alias Mike punya pandangan serupa. Pentolan band Marjinal ini mengatakan, punk menjalankan praktik politik berdasarkan kedaulatan individu. Seorang punk bergerak mewakili dirinya sendiri dan tidak dituntut tanggung jawab apapun kecuali kesadaran dan hatinya.
“Ketika memiliki frekuensi yang sama dalam melihat persoalan, maka akan bertemu di satu titik. Sama ketika punk dan anarkis bertemu dalam satu titik, dia akan berjalan beriringan, tidak ada asas kepentingan selain jujur berafiliasi di frekuensi yang sama,” kata Mike saat ditemui di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Seperti anarkisme, punk menurut Mike juga menolak hierarkis. Dia tidak terwadahi dalam suatu lembaga tertentu. Mike berpendapat, ketika individu punk sudah ideologis maka dia akan berbaur dengan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan, bukan membentuk kelompok sendiri.
“Bicara punk itu bagaimana dia melakukan proses ‘bunuh diri kelas’ yang dengan sadar membawa diri tanpa mengatasnamakan kelompoknya, tapi sebagai insan yang melebur dalam sebuah perjuangan rakyat,” kata vokalis band punk, Marjinal itu.
Pria 42 tahun ini menyebut pengelompokan merupakan perbuatan sistem kekuasaan untuk memecah belah masyarakat agar tidak memiliki perasaan senasib dan kesamaan harapan. Kemapanan berpikir sebagai warisan sistem itu, menurutnya perlu dibongkar.
Selama ini Marjinal kerap dilabeli sebagai band anarko punk. Band yang dirikan sejak 1996 itu pernah membuat lagu "Anarki Bukan Barbar". Namun Mike sendiri menolak pelabelan itu.
 Vokalis Marjinal, Mikail Israfil alias Mike. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Pendiri Komunitas Taring Babi ini tidak menganggap penting identitas sebagai seorang punk, anarkis, atau anarko punk. Baginya, semangat yang dibawa punk adalah katalisator yang mempertemukan setiap perjuangan kemanusiaan.
"Punk adalah katalisator. Apa yang dirasakan lalu dikontribusikan dalam barisan rakyat untuk menjemput keadilan. Punk akan ada di situ," ujarnya.
Mike mengatakan, kontribusi besar untuk menghidupi komunitas punk adalah dengan memanusiakan manusia dan menjadi bagian dari laju perubahan. Menurutnya, setiap orang adalah pemilik atas dirinya sendiri dengan segala pertanggungjawabannya.
“Musuh terbesar punk yang paling nyata adalah dirinya sendiri. Ada idiom di punk,
be your self. Maka musuh terbesar untuk menjadi diri sendiri adalah dirinya, ketika dirinya ingin menjadi orang lain,” kata Mike.
Sangat jelas bagi Mike tentang apa yang disampaikan di dalam punk, yaitu pulang kembali menjadi diri sendiri. Dengan begitu, punk akan terus berkembang, di mana indivinya berbaur dalam suatu keadaan dan kondisi objektif masing-masing.
“Itu yang akan membuat punk tidak akan pernah mati oleh kekuatan apapun. Walaupun tubuhnya dipenjarakan, tapi jiwa dan pikirannya tetap adalah dirinya. Itu yang disebut dengan
punk’s not dead,” tegasnya.
Perkuat Basis di Bawah TanahVokalis band punk The Roots Sidik alias Joy mengatakan, aktivitas membangun kepercayaan masyarakat terhadap komunitas punk adalah sebuah langkah awal membangun gerakan.
Joy bersama komunitas punk Brengsex City saat ini mengembangkan kemampuan hidup masing-masing individu punk dan membangun pola pikir maju di tengah masyarakat
“Punya skill apapun, kembangkan. Kami support. Di sini punk lebih bermasyarakat. Kami bergerak bukan sekadar hura-hura, tapi ada maksud untuk masyarakat,” kata Joy.
Selain merintis usaha rumah produksi rekaman, komunitas itu juga menyalurkan bakat melalui usaha sablon, desain grafis, fotografi, kursus Bahasa Inggris bernama Equality Class.
“Kami mulai di lingkungan sekitar dulu, bicara riil soal kerja-kerja nyata. Bukan enggak perlu turun ke jalan, suatu saat itu pasti, kami tetap berontak. Tapi perbaiki dulu ekonomi,” ujar Joy.
Dia mengatakan, setiap pemberontakan harus ada solusi, bukan hanya sekadar protes. Joy menilai perlu memperbaiki sikap setiap individu sebelum melangkah pada hal-hal yang lebih jauh.
Salah satu anggota komunitas, Budi Santoso alias Bucek menambahkan, sosialisasi atau berbaur dengan masyarakat merupakan cara yang dipakai untuk tetap melawan. Tanpa perlu bicara apa itu punk maupun ide anarkisme, kerja kolektif bersama warga adalah strategi subkultur punk itu sendiri.
Personel Agitators ini mengatakan, semua itu dibiarkan berjalan secara natural. Budi menilai, setiap manusia pada dasarnya memiliki rasa ingin berbagi, bebas, dan tidak mau dibatasi aturan yang mengekang.
(sur)