Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia rawan gempa karena menjadi titik pertemuan lempeng-lempeng benua dan berada di zona Cincin Api Pasifik. Gempa itu sendiri adalah hasil pergeseran lempeng benua yang didorong oleh desakan magma. Belum ada teknologi yang mampu memprediksi gempa.
Sebagai contoh, gempa di dekat Kabupaten Lebak, Banten, berkekuatan 6,1 skala Richter (SR).
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan hal itu disebabkan patahan dalam lempeng oseanik Indo-Australia yang tersubduksi di bawah Lempeng Eurasia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Patahan timbul karena dorongan lempeng Indo-Australia menyusup ke bawah Pulau Jawa dengan kecepatan 6-7 cm per tahun,” kata Daryono kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (24/1).
Lempeng tektonik sendiri ialah adalah kulit bumi yang keras. Dikutip dari situs
bmkg.go.id, permukaan bumi bukanlah satu kesatuan, namun terbagi menjadi beberapa lempeng besar.
Di bagian bawah lempeng terdapat lapisan yang berisi magma cair yang panas. Karena berada di atas lapisan cair, permukaan bumi bebas untuk bergerak dan berinteraksi dengan sesama lempeng.
Interaksi antarlempeng itu bisa saling menjauh, saling mendekat, atau bergeser. Hal ini didorong oleh magma cair yang hendak bergerak ke permukaan. Efek dari pergerakan dan interaksi antar-lempeng adalah gempa bumi, terbentuknya daratan dan gunung berapi.
Alhasil, daerah perbatasan lempeng-lempeng tektonik itu merupakan tempat-tempat yang rawan terjadinya gempa bumi.
Daryono mengatakan, zona gempa selatan Jawa memang sangat aktif sehingga pesisir Jawa rawan gempa dan tsunami. Beberapa gempa susulan pun terjadi sejak pagi. Tetapi, kekuatan gempa kian mengecil.
Daryono menjelaskan, gempa berpusat di Banten dirasakan hingga Lampung karena terjadi di kedalaman 61 km maka pusat gempa ada di dalam slab lempeng Indo-Australia.
"Fakta kedalaman bidang kontak antarlempeng di zona episenter berada di kedalaman sekitar 40 kilometer. Sehingga jika hiposenter gempa selatan Banten berada di kedalaman 61 km maka pusat gempa ada di dalam slab lempeng Indo-Australia," jelas Daryono.
"Karena relatif dalam maka guncangannya menyebar dalam wilayah yang sangat luas," ucapnya.
BMKG menyatakan Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena Indonesia berada di daerah Cincin Api atau rangkaian gunung berapi dan juga dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik.
Yakni, Lempeng Indo-Australia (yang terletak di Samudera Hindia atau di selatan Jawa dan Sumatera), lempeng Eurasia (melingkupi Jawa, Sumatera, hingga utara Kalimantan), dan lempeng Pasifik (sekitar utara Papua dan Maluku).
Lempeng Indo-Australia diketahui cenderung bergerak ke arah utara dan menyusup ke bawah lempeng Eurasia (71 mm per tahun), dan lempeng Pasifik bergerak relatif ke arah barat (kecepatan 110 mm per tahun).
Meski pergerakan lempeng bumi bisa diukur, terjadinya gempa hingga saat ini belum bisa dideteksi.
 Kondisi pasca-gempa di Afghanistan dan Pakistan yang menewaskan setidaknya 275 orang, pada October 27, 2015. ( Foto: REUTERS/Stringer) |
Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly mengatakan, Indonesia merupakan wilayah yang aktif dengan gempa bumi. Potensi gempa bumi dapat terjadi kapan pun dengan beragam kekuatannya.
Jika ada informasi prediksi gempa bumi, itu dipastikan hoaks atau kabar bohong.
"Hingga saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi gempa bumi dengan tepat; kapan, dimana, dan berapa kekuatannya," jelas dia, dikutip dari situs bmkg.go.id.
Gerakan Lempeng BerhentiLempeng-lempeng tektonik ini juga menggambarkan sejarah bumi. Karena aktivitas magma, menurut peneliti Graeme Eagles dari University of London, seperti dikutip dari livescience.com, lempeng-lempeng itu saling berdesakan.
Pergerakan itu pernah membentuk sebuah daratan yang maha luas di bumi atau superbenua atau
supercontinent. Salah satunya adalah Rodinia, yang terbentuk sekitar 1,2 milar tahun lalu.
Superbenua ini kemudian pecah menjadi beberapa benua. Benua-benua itu kemudian menyatu kembali dan membentuk superbenua berikutnya, Pangaea, sekitar 250 juta tahun lalu.
Pangea pun terpecah kembali dan membentuk Laurasia dan Gondwana pada 200 juta tahun lalu. Setelah itu, benua-benua ini kembali terpecah sekitar 180 juta tahun lalu dan perlahan membentuk komposisi daratan seperti yang ada saat ini.
Paul G. Silver dari Carnegie Institution of Washington dan Mark D. Behn dari Woods Hole Oceanographic Institution, Massachusetts, AS, percaya, pergerakan lempeng-lempeng itu suatu saat akan berhenti ketika sudah mencapai titik stabil, setidaknya pada satu periode geologi.
Sebab, berdasarkan penelitian mereka, Samudera Pasifik semakin sempit. Amerika dan Australia semakin mendekat. Sementara, zona subduksi kebanyakan berada di samudera ini.
Mereka menganalogikannya dengan Laut Thetys, yang diapit benua Laurasia dan Gondwana. Laut ini perlahan menghilang setelah daratan India bergerak menuju Asia dan diapit oleh Afrika. Setelah periode ini, zona subduksi di Laut Thetys raib.