Jakarta, CNN Indonesia -- Farouk Arnaz menjalani aktivitas sebagai seorang wartawan sebuah media daring (online) nasional seperti biasa pada Kamis (26/4). Ia duduk di halaman kantor Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Humas Polri), menunggu kesediaan pejabat berwenang untuk diwawancarai.
Sudah hampir 15 tahun berlalu sejak Farouk memulai tugas perdananya sebagai wartawan. Beragam tugas peliputan pun telah mewarnai perjalanan karier Farouk sejak 2003. Termasuk, tugas peliputan yang mengancam nyawanya, seperti di wilayah konflik.
Baginya, wartawan merupakan profesi yang istimewa karena tak sekadar memperoleh penghasilan untuk menunjang kehidupan ekonomi, namun juga dapat memberikan hal berguna bagi masyarakat berupa informasi atau berita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, hal tersebut menjadi alasan terus bertahan menekuni profesi yang sesuai dengan keilmuan yang ia pelajari di bangku kuliah dulu, hingga saat ini.
"Dunia yang saya tekuni ini istimewa. Bukan hanya mencari makan, tetapi bisa menjadi sesuatu yang memberikan feedback pada pembaca," kata Farouk saat ditemui
CNNIndonesia.com, Kamis (26/4) pekan lalu.
Berbagai pengalaman menarik pun telah dialami Farouk selama menekuni profesi wartawan. Bahkan, dia telah melaksanakan sejumlah tugas peliputan yang mempertaruhkan nyawanya karena dilakukan di daerah yang tengah berkonflik.
Beberapa tugas peliputan itu antara lain ialah saat operasi militer terjadi di Aceh, perang antarpemeluk agama di Poso, dan pembunuhan Benazir Bhuttho di Pakistan.
Bahkan, Farouk juga pernah melaksanakan tugas peliputan di Timor Leste, yang kala itu tengah diguncang kudeta oleh salah seorang pemimpin militernya.
"Saya beberapa kali meletakkan posisi saya dalam konteks mencari berita itu taruhannya nyawa," ujar Farouk.
Menekuni profesi wartawan dengan beragam tugas peliputan itu ternyata sempat membuat Farouk kehilangan waktu untuk menikmati hobinya, mendaki gunung.
Setelah lebih dari satu dasawarsa tidak mendaki gunung, akhirnya kerinduan Farouk akan hobinya tak terbendung lagi. Ia pun mencoba mencari solusi agar aktivitas yang dulu sempat ia tekuni kala menjadi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu bisa dilakukan kembali.
 Farouk Arnaz (Dok. Pribadi) |
Akhirnya, hal itu terjadi pada 2015, setelah Farouk bertemu dengan seorang bernama Hendra Wijaya-pelopor lari lintas alam Indonesia. Farouk pun 'diracuni' oleh Hendra bahwa waktu dalam mendaki gunung dapat dipangkas dengan cara berlari dan tanpa menginap atau berkemah.
"Dia (Hendra) meracuni saya bahwa mungkin ke gunung. Lari saja, naik dan turun lari," ucapnya.
Farouk pun melatih dirinya agar memiliki kemampuan mendaki gunung dengan berlari. Menurutnya, setelah melakukan latihan secara rutin, kegiatan mendaki gunung dengan berlari itu pun akhirnya menjadi sebuah rutinitas.
Lewat rutinitas tersebut, Farouk juga menemukan komunitas Run for Indonesia Trail. Selain berlari, dalam komunitas ini Farouk bersama rekan-rekannya juga melakukan berbagai aktivitas sosial.
Dia menuturkan, salah satu gunung yang sering ia daki dengan berlari adalah Gede Pangrango di Bogor, Jawa Barat.
"Gunung Gede ibarat halaman belakang saya. Bukan sombong, tapi karena sering saya sudah mengenal dan tahu belokannya," ujarnya.
Selain bekerja sebagai wartawan dan menekuni aktivitas mendaki gunung dengan berlari, ayah satu anak ini pun juga menerbitkan karya tulis berupa buku.
Ia mencoba merangkum seluruh pengalamannya sebagai wartawan di lingkungan Mabes Polri selama 12 tahun dan memadukannya dengan sejumlah wawancara terbaru.
Buku berjudul Arief Effect, Setahun Revolusi Senyap di Dapur Polri itu dia luncurkan pada Sabtu (24/3) silam. Menurut Farouk, buku ini dianggap sebagai 'ijazah' atas profesi pewarta telah ia lakoni selama 15 tahun.
"Buku bagi wartawan ibarat mahasiswa sekolah, itu adalah ijazahnya," ujarnya.
Ia pun menuturkan, membuat buku merupakan sebuah keharusan bagi orang yang telah menceburkan diri menjadi wartawan.
Setelah menelurkan buku ini, Farouk pun mengaku termotivasi untuk menularkan semangat kepada rekan-rekan seprofesinya untuk melakukan hal serupa.
Farouk berkata, melalui buku maka wartawan telah membuktikan diri bertanggung jawab atas profesi yang dijalani selama ini.
"Ketika menulis buku
by name (dengan nama sendiri) artinya kita berani memproklamirkan bahwa inilah semacam tanggung jawab profesi. Bahwa liputan kita semua itu
output-nya adalah buku," ujarnya.
Menjalani seluruh aktivitasnya itu, Farouk pun mencoba berhitung agar tidak mengorbankan waktu bersama keluarga.
Farouk menjelaskan, mendaki gunung dengan berlari tanpa menginap merupakan salah satu upayanya agar waktu bersama keluarga tidak tersandera.
"Lari tadi menjadi jawaban, saya hanya camp satu malam di Cibodas, lalu besoknya saya sudah bersama mereka (keluarga), dengan begitu mereka tidak tercederai," katanya.
Sementara itu, dia pun berupaya untuk membagi waktu untuk menyusun buku di sela-sela tugas peliputannya. Menurut Farouk berbagai upaya tersebut berhasil ia lakukan tanpa mengambil jatah waktu bekerja dan saat bersama keluarga.
"Saya pikir tinggal kemampuan kita saja mengatur waktu itu," tuturnya.
Menjajal Dunia Baru di Sela RutinitasKisah berbeda disampaikan oleh empat orang sahabat yakni Damar Iradat, Muhammad Khadafi, Muhammad Fajar Fadilah, dan Mahesa Bismo. Mereka membuka sebuah kedai kopi bernama Kopi Mori di kawasan Grogol, Jakarta Barat, sejak awal April tahun ini.
Sama-sama menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dan berprofesi sebagai buruh media di media massa yang berbeda-beda, mereka kini mencoba menekuni bisnis yang bermula dari kegemaran meminum kopi.
Khadafi mengatakan, usaha kedai kopi ini awalnya lahir dari celetukan salah satu sahabatnya di sela-sela obrolan yang kerap mereka lakukan. Namun, celetukan itu akhirnya coba direalisasikan dengan membuat konsep dan riset.
"(Idenya) dari celetukan ngobrol saja. Awalnya, karena rajin kumpul. Terus konsep itu dari Desember 2017, kemudian eksekusi riset dari Januari 2018," kata Khadafi saat ditemui
CNNIndonesia.com di kedai kopinya, Jumat (27/4) pekan lalu.
Dia pun mengaku menemukan pelajaran yang berbeda tentang menjadi seorang karyawan atau pemilik modal setelah membuka usaha kedai kopi ini. Menurutnya, menjadi seorang pemilik modal memiliki kekhawatiran tersendiri terkait pelayanan dan penjualan.
 Kedai kopi milik empat pewarta Damar Iradat, Muhammad Khadafi, Muhammad Fajar Fadilah, dan Mahesa Bismo. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon) |
"Jadi pegawai, kalau kurang susu enggak peduli, cuma ketika jadi owner itu
insecure parah, takut
customer enggak balik lagi," tuturnya.
Sementara itu, Damar mengatakan bahwa ia bersama sahabatnya belajar meracik kopi secara otodidak lewat video-video yang ada di media sosial Youtube.
Damar juga mengaku cukup berat dalam mengawali usaha kedai kopi ini. Selain dari sisi modal, menurutnya, ia bersama rekan-rekannya harus mengatur waktu kerja supaya bisa bergiliran menjaga kedai kopi.
"Berat di modal dan waktu. Harus pintar-pintar bagi waktu karena berempat kerja. Untung ada yang kerja malam dan siang, jadi bagi-bagi waktu biar bisa jaga. Tergantung fleksibel jamnya," katanya.
Damar dan rekan-rekannya pun berharap, usaha yang mereka jalani saat ini dapat berkembang dan menjadi besar kelak.
"Inginnya diseriusin juga, kalau laku terus ingin buka cabang," katanya.
Demi Anak-IstriCerita berbeda disampaikan seorang pramubakti (
office boy) yang bekerja di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Wahyidin. Walau mencari nafkah jauh dari anak dan istri, sosok yang akrab disapa Udin ini tetap merasa bahagia menjalani profesi yang telah ia tekuni sejak 2010 ini.
"Sekarang jalani saja, saya senang menjalaninya," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/4).
Sebagai orang dari kalangan kelas pekerja, Udin mengaku selalu menyempatkan waktu pulang menengok istri dan anaknya yang tinggal di Subang, Jawa Barat, saban akhir pekan.
Ketika pulang, Udin pun selalu menyempatkan diri untuk mengajak keluarganya jalan-jalan atau sekadar makan di luar rumah.
"Biasa pulang main sama anak, ajak anak ke tempat mainan, makan, atau wisata," ucapnya.
 Wahyidin (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon) |
Udin juga mengatakan, dari penghasilannya bekerja sebagai pramubakti, Udin pun mengaku telah berhasil memiliki sebuah rumah dan dua unit sepeda motor. Meski begitu, dia berkata, selalu berusaha menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk ditabung sebagai bekal pendidikan anaknya di masa depan.
"Hasil kerja selama ini ada tabungan juga buat anak sekolah, ya kalau kepepet kadang-kadang diambil juga," tutur sosok yang baru berusia 27 tahun itu.
Di sisi lain, Udin masih menyimpan mimpinya untuk memiliki usaha sendiri berupa tempat pencucian motor atau tempat pengisian air minum kemasan galon. Mimpi itu belum terwujud lantaran belum punya cukup modal.
"Pernah berpikir untuk bisnis sampingan, tapi menunggu modalnya. Misalnya membuka cuci motor di kampung atau isi ulang minuman galonan," ujarnya.
(ayp)