Rawan Intimidasi Jelang Pilpres 2019

FHR | CNN Indonesia
Rabu, 02 Mei 2018 11:00 WIB
Aparat penegak hukum diharapkan bersikap tegas menindak kedua kelompok yang berseberangan di Car Free Day, demi netralitas dan pembelajaran politik.
Partai politik juga harus bertanggung jawab atas gejala itu karena belum bisa memberikan pendewasaan politik terhadap masyarakat. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Persaingan kelompok politik di dalam masyarakat berujung pada dugaan intimidasi kerap menghiasi pesta demokrasi belakangan ini. Meski perbedaan sikap politik wajar, tetapi belakangan ini hal itu semakin meruncing.

Kejadian terbaru adalah peristiwa gesekan dua kelompok pendukung dan penentang Presiden Joko Widodo, dalam ajang hari bebas kendaraan bermotor pada Minggu (29/4) lalu. Saat itu, seorang pria yang mengenakan kaus bertuliskan tagar #DiaSibukKerja dicemooh oleh sekumpulan orang yang mengenakan kaus #2019GantiPresiden. Tak hanya dia, seorang ibu yang sedang berjalan bersama anaknya juga mendapat perlakuan serupa. Bahkan, sang anak sampai menangis lantaran takut dengan orang-orang itu.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Paulus Wirutomo berpendapat, munculnya gesekan menjelang pemilihan tidak lepas dari kejadian sebelumnya. Pada pilkada di DKI Jakarta beberapa waktu lalu, isu terkait suku dan agama jadi pemantik. Sedangkan kali ini, penggunaan jargon menjadi pemicunya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Paulus, pertentangan dukungan politik ini kemudian meresap di masyarakat dan seakan menjadi identitas satu-satunya yang melekat pada seseorang. Hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik ketika kedua pihak berbeda itu bertemu dalam satu ruang yang sama.


"Memang, yang namanya identitas bisa dimainkan sangat efektif. Misalnya, agama. Itu dahsyat (dampaknya)," ujar Paulus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (1/5) kemarin.

Wirutomo mengangap masalah intimidasi karena gesekan politik bisa semakin berbahaya. Hal itu tidak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi, yang dianggap bisa menjadi sarana penyebaran gagasan yang saling bertentangan soal sikap politik, lantas bisa memicu kebencian.

Di masa lalu, kata Paulus, konflik berpotensi terjadi hanya jika kedua pihak yang berseberangan saling berhadapan secara langsung. Namun tidak untuk saat ini, karena tanpa bertatap muka pun konflik tetap berjalan melalui dunia maya. Konflik yang terjadi di dunia maya ini, menurut dia, tidak terikat dengan waktu dan terus digulirkan. Alhasil hal itu menyebabkan kebencian yang ditanamkan di dalam diri masyarakat tetap 'dirawat'.

"Jadi derajat pertikaian ini jauh lebih tinggi karena penggunaan alat komunikasi yang baru (lebih canggih)," kata Paulus.


Pendidikan Politik Belum Maksimal

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai gesekan politik berujung intimidasi merupakan efek lanjut dari persaingan yang terlampau bebas. hal itu mendorong simpatisan yang dianggap wawasan politiknya ala kadarnya terlibat di dalamnya.

"Tapi relawan ini secara kapasitas tidak memiliki kematangan politik. Jadi, di satu sisi mereka ikut berproses. Namun, dengan pemahaman (politik) yang belum dewasa," kata Ubedilah saat dihubungi.

Menurut Ubedilah, dalam hal ini partai politik harus bertanggung jawab karena mereka mesti mencerdaskan masyarakat, dengan memberikan pendidikan politik yang sesuai. Yakni mengajarkan prinsip menghargai perbedaan atas pilihan. Pendidikan politik yang diberikan partai saat ini hanya berkutat pada memenangkan kandidat, atau merebut kekuasaan dengan segala cara. Hal inilah yang lantas menimbulkan permusuhan dan sikap tidak dewasa dalam berpolitik.

Ubedilah menganggap perlu terobosan baru pada kurikulum pendidikan politik oleh partai, yakni dengan memberikan porsi yang cukup besar pada upaya membangun pemahaman politik yang dewasa.

"Fungsi partai adalah salah satunya memberikan pendidikan politik dan itu lemah. Ada (pendidikan politik yang diberikan oleh partai) tapi cenderung membangun pada keinginan untuk menang, bukan untuk membentuk pola pikir masyarakat yang saling menghargai perbedaan, yang berdemokrasi," kata Ubedilah.

Selama masyarakat belum dewasa dalam berpolitik, kata dia, maka jangan pernah memberikan ruang yang sama terhadap kubu-kubu yang saling berseberangan guna menghindarkan konflik.

"Jangan pernah menyandingkan dua kelompok masa politik dalam satu tempat. Ini memicu ketegangan," kata Ubedilah.

Aparat pengak hukum pun dituntut tegas terhadap para relawan atau simpatisan yang melanggar aturan. Pada kasus yang terjadi di CFD misalnya, polisi harus menjerat kedua pihak. Sebab mereka telah melanggar prinsip pelaksanaan ajang itu, yakni sebagai ruang interaksi masyarakat yang bebas dari kepentingan politik.

Dalam pasal 7 ayat 1 Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) dijelaskan, sepanjang jalan CFD hanya boleh digelar kegiatan terkait lingkungan hidup, olahraga, dan seni budaya. Lalu pada Ayat 2 disebutkan juga bahwa HBKB atau CFD tidak boleh digunakan untuk kegiatan partai politik, SARA, dan mengandung orasi yang bersifat menghasut.


Hal ini juga menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar berpolitik secara dewasa. Jika aparat menindak kedua belah pihak, diharapkan masyarakat akan sadar dan paham kalau hal itu keliru.

(ayp/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER