Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pertahanan menyatakan telah menyiapkan dua strategi untuk menanggapi gugatan dari perusahaan satelit asal Inggris, Avanti Communication.
Pada 10 Agustus 2017 lalu, Avanti Communication menggugat pemerintah Indonesia melalui London Courts of International Arbitration (LCIA) terkait dugaan wanprestasi terhadap kontrak penyewaan satelit yang berada di atas wilayah garis khatulistiwa.
Avanti Communication menuntut ganti rugi kepada pemerintah RI senilai US$17,08 juta atau Rp237,5 miliar. Indonesia dinilai tak bisa membayar sewa satelit Avanti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Strategi pertama Kemenhan dalam menanggapi gugatan ini adalah non-litigasi, yakni penyelesaian persoalan melalui jalur perdamaian atau negosiasi. Namun, agar strategi ini dapat berjalan dibutuhkan anggaran yang harus dipenuhi dalam waktu yang terbatas.
Sedangkan, strategi kedua adalah litigasi, yaitu penyelesaian persoalan melalui jalur hukum.
"Saat ini Menhan telah bekerja sama dengan Jaksa Agung RI dengan memberikan Surat Kuasa Khusus (SKK) kepada Jaksa Agung sebagai Jaksa Pengacara Negara untuk mewakili pemerintah guna menghadapi arbitrase internasional, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2010," menurut keterangan pers Kemenhan yang diterima
CNNIndonesia.com, Senin (14/5).
Hingga saat ini, Kemenhan menyebut proses sidang masih berlangsung, dan diperkirakan akan selesai pada akhir tahun 2018.
Tiga tahun lalu, satelit milik Indonesia yang bernama Garuda-1 bergeser dari orbit 123 derajat bujur timur di atas garis khatulistiwa. Padahal satelit di orbit itu sangat strategis karena memiliki jangkauan amat luas.
Menyikapi hal itu, Kementerian Pertahanan memutuskan untuk menyewa satelit milik perusahaan Avanti. Hal ini untuk mengisi slot orbit yang ditinggalkan statelit Garuda 1 tersebut senilai Rp405 miliar.
Polemik muncul ketika Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan kajian pada tahun lalu, yang menunjukan bahwa penggunaan satelit tersebut tak memadai sehingga berujung pada masalah administrasi. Karenanya, Kementerian Keuangan tak bisa mencairkan anggaran untuk pembiayaan tersebut.
Kemenhan juga mengatakan apabila pemerintah tidak menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan oleh Kemenham dalam menyelesaikan persoalan ini, slot orbit 123 derajat bujur timur akan digunakan oleh negara lain.
Hal ini akan menyebabkan hilangnya hak Indonesia atas satelit bergerak, dan selamanya Indonesia akan bergantung pada satelit negara lain.
(rah)