Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (
KAHMI) mengkritisi rencana kebijakan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir untuk memantau media sosial dosen dan mahasiswa untuk mencegah
radikalisme. Kebijakan itu berlebihan karena mengintervensi hak privasi setiap individu.
"Kebijakan monitoring terhadap aktivitas komunikasi dosen dan mahasiswa dengan mendata nomor
handphone dan akun media sosialnya merupakan kebijakan yang berlebihan. Selain mengintervensi hak privasi, langkah tersebut berpotensi mengganggu suasana akademik," ujar Koordinator Presidium MN KAHMI, Siti Zuhro dalam keterangan tertulis, Selasa (12/6).
Selain mengintervensi privasi seseorang, Siti menilai, langkah tersebut juga tak efektif. Kemudian dengan adanya pemantauan terhadap media sosial dan komunikasi juga dapat menambah suasana saling curiga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk mengatasi faham radikalisme, yang dibangun seharusnya adalah kesadaran kolektif bangsa tentang pentingnya menjaga dan memelihara kebersamaan serta kedamaian dalam kemajemukan sosial," kata dia.
Lebih lanjut Siti menambahkan, untuk menciptakan kampus yang steril, bersih dan aman dari segala bentuk paham radikal, seharusnya kampus didorong untuk mengedepankan cara-cara akademik, menjaga tradisi intelektual serta meningkatkan pembelajaran dan suasana dialogis.
"Karena itu KAHMI menyambut baik penambahan mata kuliah lintas program studi, termasuk ilmu sosial dasar, untuk program studi di jurusan eksakta," ujar peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Semua pihak, lanjut Siti, sepakat bahwa terorisme adalah musuh bersama yang harus diperangi secara bersama pula. Untuk itu penting dilakukan langkah dan kebijakan yang kondusif, persuasif, dan mampu memperkuat sinergitas antarseluruh elemen masyarakat.
"Termasuk kalangan perguruan tinggi," kata Siti.
(osc/sur)