Jakarta, CNN Indonesia -- Rektor terpilih Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof Nuhfil Hanani mempertanyakan pencantuman UB dalam daftar kampus yang sudah disusupi paham radikal oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Anggapan ataupun upaya-upaya untuk mengidentifikasi Universitas Brawijaya sebagai kampus teroris patut kami pertanyakan, karena sampai saat ini UB masih memegang teguh dan terus mengupayakan nilai-nilai yang menjadi karakter khas universitas ini," kata Nuhfil di Malang, Jawa Timur, Rabu (13/6), seperti dikutip dari
Antara.
Pada akhir Mei, BNPT menyatakan tujuh universitas sudah disusupi paham radikal, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nuhfil tidak memungkiri kegiatan-kegiatan ilegal yang bisa mengarahkan ke gerakan radikalisme bisa terjadi di berbagai tempat termasuk di kampus, tapi dia menyatakan harus ada data untuk menelusuri akar masalah.
"Kita harus memiliki data akurat tentang apa penyebab terjadinya gerakan radikalisme di kampus, bagaimana cara penyebarannya, dan bagaimana cara mengatasi gerakan radikalisme tersebut," ujarnya.
Untuk menangkal radikalisme di kampus, UB melakukan
profilling civitas akademika untuk mengetahui pandangan dosen, tenaga administrasi dan mahasiswa mengenai paham radikal sebagai langkah awal untuk menentukan model pendampingan kepada civitas akademika.
"Profilling ini penting untuk menentukan langkah ke depan sekaligus menentukan model pendampingan," ucap Nuhfil.
Faktor PsikologisNuhfil menyatakan UB telah melakukan pengamatan dan deteksi dini terhadap isu radikalisme tersebut dan hasil pengamatan di lapangan ditemukan ada dua faktor penyebab radikalisme di dalam kampus, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Menurut Nuhfil, faktor pertama terjadinya seseorang ikut dalam gerakan radikal dan menjadi teroris adalah faktor internal dari dalam diri pelaku, yakni kondisi psikologis pelaku, seperti stres dan depresi akibat tuntutan hidup dan terbelit pada kesulitan ekonomi serta masa lalunya.
Seseorang yang kondisi psikologisnya tidak stabil, menurut Nufil, akan dengan mudah dipengaruhi oleh paham yang berkiblat pada terorisme. Seseorang yang sedang labil akan cenderung mudah didekati secara personal oleh para agen teroris. Biasanya diawali dengan mengajak orang itu pada kelompok pengajian kecil atau halaqoh.
Media ini digunakan oleh para agen sebagai tempat curhat orang yang sedang labil, sehingga orang tersebut merasa nyaman dan memiliki teman untuk berbicara.
Sedangkan faktor eksternal, lanjutnya, lunturnya nilai-nilai kebangsaan, kesenjangan ekonomi, pemahaman keagamaan yang keliru, ada doktrin jihad dari luar masuk ke Indonesia, dan sentimen emosional ingin ikut jihad setelah melihat adanya penindasan kaum muslim di berbagai negara seperti di Palestina, Suriah, dan Afganistan.
(antara)