Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah wilayah pesisir di Indonesia terancam gelombang tinggi. Beberapa di antaranya wilayah pesisir barat Sumatra lalu selatan Jawa seperti di kawasan Yogyakarta, Lebak (Banten), hingga Pacitan (Jawa Timur), hingga Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan keterangan dari Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tjatmiko pihaknya menyarankan kepada nelayan di wilayah-wilayah pesisir tersebut untuk mempertimbangkan kondisi gelombang sebelum melaut.
"Nelayan di daerah barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, NTB, NTT... harap mempertimbangkan kondisi tersebut [tinggi gelombang] sebelum melaut," demikian peringatan dini gelombang tinggi BMKG yang diterima dari Hary, Rabu (25/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam laporan tersebut, BMKG membagi tinggi gelombang pada tiga kewaspadaan yakni Moderat, Buruk, dan Sangat Buruk.
Tinggi gelombang sangat buruk yakni 4 meter ke atas terjadi di wilayah-wilayah perairan utara Sabang, perairan utara Aceh, perairan barat Pulau Simeulue, perairan barat Kepulauan Nias hingga Kepulauan Mentawai.
Juga berpeluang terjadi di perairan Enggano-Bengkulu, perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan, Samudra Hindia barat Sumatera, perairan selatan Banten, perairan selatan Jawa, perairan selatan Pulau Bali hingga Pulau Sumbawa.
Serta di Selat Bali hingga Selat Lombok dan Selat Alas bagian Selatan, Selat Sumba bagian Barat, perairan selatan Pulau Sumba, Samudera Hindia di selatan Jawa hingga NTT.
BMKG memprakirakan puncak gelombang ekstrem terjadi pada 24-25 Juli dan gelombang tinggi hingga empat meter masih berpeluang terjadi hingga 28 Juli 2018 karena memasuki puncak musim kemarau pada Juli-Agustus.
"Harus diperhatikan risiko tinggi terhadap keselamatan pelayaran adalah untuk perahu nelayan waspadai angin dengan kecepatan di atas 15 knot dan ketinggian gelombang di atas 1,25 m. Kapal tongkang waspadai angin dengan kecepatan lebih dari 16 knot dan ketinggian gelombang lebih dari 1,5 m. Kapal ferry waspadai kecepatan angin lebih dari 21 knot dan ketinggian gelombang lebih dari 2,5 m. Kapal ukuran besar seperti kargo dan pesiar waspadai kecepatan angin lebih dari 27 knot dan ketinggian gelombang lebih dari 4,0 m," demikian saran keselamatan pelayaran dari BMKG hari ini.
 (Dok. BMKG) |
Rusak Bangunan di Pesisir
Sementara itu, tinggi gelombang yang menerpa pesisir telah merusak bangunan-bangunan di wilayah selatan Jawa. Di antaranya di Kabupaten Lebak, Banten, Berdasarkan data sementara, lima rumah dan warung disekitar pantai Banten Selatan, rusak karena dihantam gelombang tinggi.
"Tiga rumah rusak berat, dua rumah rusak ringan, yang terkena dampak meluapnya air laut ke pemukiman warga, di sekitar pantai," kata Lettu Sudarsono, Pasintel Kodim 0603/Lebak, melalui pesan singkatnya, Rabu (25/7).
Bencana alam itu terjadi sekitar pukul 03.30 WIB hari ini. Beruntung, gelombang tinggi itu tak menelan korban jiwa, hanya menimbulkan kerugian material yang menurut data sementara baru mencapai Rp30 juta.
Atas dasar itu, warga yang berada di sepanjang pesisir pantai Selatan Banten, diminta untuk berhati-hati dan mewaspadai gelombang tinggi di laut.
"Sampai saat ini kejadian masih dalam penanganan aparat terkait dan gelombang pasang dimungkinkan masih akan terjadi," jelas Sudarsono.
 Gelombang air laut setinggi tiga meter, menghantam wilayah pesisir Kabupaten Lebak Banten. Berdasarkan data sementara, lima rumah dan warung disekitar pantai Banten Selatan, rusak karena dihantam gelombang tinggi, 25 Juli 2018. (Dok.Kodim 0603 Lebak) |
Begitu pun terjadi di pesisir Sukabumi, Jawa Barat. Bahkan, seperti dikutip dari
Antara, bencana gelombang pasang di wilayah kabupaten tersebut meluas.
"Jumlah bangunan akibat gelombang pasang ini mencapai puluhan, tapi untuk jumlah pastinya masih dalam verifikasi karena banyak bangunan seperti warung liar yang berdiri di pesisir pantai yang juga ikut menjadi korban," kata Ketua Forum Koordinasi SAR Daerah Kabupaten Sukabumi, Okih Fajri di Sukabumi, Rabu.
Walaupun tidak ada korban jiwa pada bencana ini, puluhan kepala keluarga harus kehilangan tempat tinggal dan usahanya. Sebagian, kata Okih, sudah mengungsi ke tempat yang lebih aman.
"Kami masih melakukan penyisiran dan pendataan terkait jumlah bangunan yang rusak, untuk kerugian pun belum diketahui karena masing simpang siurnya jumlah rumah dan warung yang rusak," tambahnya.
(yan/gil)